Wapenja.com – Arief Prasetyo Adi diberhentikan secara resmi melalui Keputusan Presiden No. 116/P Tahun 2025, setelah menjabat sejak 2022 di bawah Presiden Jokowi.
Selama masa jabatannya, Arief dikenal sebagai figur teknokratik yang mendorong reformasi distribusi pangan, penguatan cadangan pangan strategis, dan digitalisasi sistem logistik pangan nasional.
Penggantinya, Amran Sulaiman, adalah Menteri Pertanian yang kini merangkap jabatan sebagai Kepala Bapanas. Ia dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Presiden Prabowo dan memiliki latar belakang kuat di sektor agribisnis.
Pemerintah menyatakan bahwa Arief akan ditugaskan dalam posisi strategis lain, meski belum diumumkan secara resmi.
“Mas Arief sedang ingin kita tugaskan di tempat yang lain, maka kemudian fungsi itu langsung dijabat oleh Menteri Pertanian,” ungkap Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Langkah ini menimbulkan sejumlah pertanyaan strategis:
- Efisiensi atau sentralisasi? Dengan menggabungkan dua lembaga strategis di bawah satu figur, pemerintah mengklaim efisiensi. Namun, ini juga bisa mengurangi fungsi check and balance antara regulator dan pelaksana kebijakan pangan.
- Dampak terhadap independensi Bapanas: Sebagai lembaga yang seharusnya mengawasi stabilisasi harga dan distribusi pangan, apakah Bapanas masih bisa menjalankan fungsi pengawasan jika dipimpin oleh Menteri Pertanian yang juga pelaksana kebijakan?
- Sinyal politik: Apakah ini bagian dari konsolidasi kekuasaan Prabowo menjelang tahun-tahun awal pemerintahannya, dengan menempatkan loyalis di posisi strategis dan merestrukturisasi lembaga warisan Jokowi?
Arief adalah figur yang dibentuk oleh era Jokowi—seorang teknokrat yang dipercaya untuk membangun sistem pangan yang lebih tangguh dan transparan. Ia memimpin Bapanas dalam masa-masa krusial, termasuk saat krisis harga beras dan gejolak pasokan akibat perubahan iklim dan geopolitik global.
Pencopotannya bisa dibaca sebagai simbol pergeseran arah: dari pendekatan teknokratik berbasis data dan sistem, ke pendekatan yang lebih terpusat dan politis di bawah Prabowo. Ini bukan hanya soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana kebijakan pangan akan dijalankan ke depan—apakah berbasis tata kelola atau kekuasaan?












