Wapenja.com – Gebrakan Menkeu Purbaya ini bukan sekadar angin segar bagi pelaku UMKM—ia adalah sinyal kuat bahwa pemerintah mulai menggeser paradigma fiskal ke arah yang lebih inklusif dan pro-rakyat. Di tengah tekanan ekonomi global dan stagnasi konsumsi domestik, kebijakan ini bisa menjadi katalis penting bagi pemulihan ekonomi berbasis akar rumput. Lebih dari sekadar insentif, ini adalah pernyataan politik dan ekonomi: bahwa negara hadir untuk melindungi dan memberdayakan pelaku usaha kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Pemerintah resmi memperpanjang tarif PPh Final 0,5% bagi pelaku UMKM hingga 2026, sebuah langkah yang langsung disambut dengan antusias oleh jutaan pengusaha kecil di seluruh Indonesia.
Kebijakan ini berlaku untuk UMKM dengan omzet tahunan di bawah Rp4,8 miliar, yang sebelumnya berisiko tergilas oleh beban pajak progresif.
Dalam konteks fiskal, ini bukan hanya soal keringanan pajak, tapi juga pengakuan terhadap peran UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Dengan kontribusi terhadap PDB yang mencapai lebih dari 60%, UMKM selama ini sering kali terpinggirkan dalam desain kebijakan makro.
Langkah ini juga mencerminkan pergeseran dari pendekatan pajak berbasis kontrol ke pendekatan berbasis kepercayaan dan pemberdayaan, sebuah transformasi yang jarang terjadi dalam birokrasi fiskal Indonesia.
Pemerintah juga membebaskan PPh 21 bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta di sektor padat karya seperti:
- Pariwisata – sektor yang paling terpukul selama pandemi dan masih dalam fase pemulihan.
- Tekstil dan Kerajinan – industri yang menyerap banyak tenaga kerja informal dan perempuan, serta menjadi tulang punggung ekonomi kreatif lokal.
Efek langsungnya adalah peningkatan disposable income, yang diharapkan mendorong konsumsi rumah tangga dan mempercepat perputaran ekonomi lokal.
Ini juga menjadi sinyal bahwa pemerintah mulai mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan strategi pemulihan sosial, bukan hanya sekadar angka APBN.
Benny Batara Hutabarat, investor dan pendiri Bennix Investor Group, menyebut kebijakan ini sebagai “napas segar buat rakyat kecil.” Ia menyoroti ketimpangan pajak antara pekerja formal yang bisa dikenai hingga 35% dan pelaku UMKM yang hanya 0,5%.
Namun, di balik euforia, muncul juga kekhawatiran soal modifikasi usaha secara ilegal untuk menghindari pajak. Menkeu Purbaya sendiri mengendus praktik “pecah usaha” agar tetap masuk kategori UMKM dan menikmati tarif rendah.
Ini membuka ruang bagi perdebatan etis dan regulatif: bagaimana membedakan antara pelaku usaha yang benar-benar kecil dan mereka yang memanipulasi skema untuk keuntungan pribadi?












