Wapenja.com/Bandung – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan publik setelah mengumumkan kebijakan efisiensi anggaran yang cukup drastis. Di tengah pemangkasan berbagai pos belanja daerah, anggaran operasional gubernur justru tetap tinggi, mencapai Rp21,6 miliar per tahun. Hal ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan pemerhati kebijakan publik.
Pemangkasan Anggaran: Efisiensi atau Selektif?
Langkah efisiensi yang dilakukan Dedi Mulyadi menyasar beberapa sektor penting, di antaranya:
- Dana perjalanan dinas dipangkas 50%, dari Rp1,5 miliar menjadi Rp750 juta.
- Hibah untuk pesantren, yang sebelumnya mencapai Rp153 miliar, kini hanya dialokasikan Rp9,25 miliar untuk tahun anggaran 2025.
Kebijakan ini disebut sebagai upaya untuk menghindari praktik pengalokasian dana yang tidak merata dan cenderung menguntungkan kelompok tertentu. Dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, Dedi menyatakan:
“Selama ini bantuan sering berputar ke lembaga yang itu-itu saja. Maka saya lakukan efisiensi besar-besaran agar anggaran lebih tepat sasaran.”
Pernyataan ini mendapat dukungan dari sebagian masyarakat yang menginginkan transparansi dan pemerataan dalam distribusi anggaran. Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan konsistensi kebijakan tersebut.
Dana Operasional Gubernur: Tetap Tinggi di Tengah Pemangkasan
Di tengah semangat efisiensi, anggaran operasional gubernur tetap berada di angka Rp21,6 miliar per tahun. Berdasarkan Peraturan Pemerintah, besaran dana ini ditetapkan sebesar 0,15% dari realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan PAD Jawa Barat yang terus meningkat, otomatis dana operasional kepala daerah pun ikut naik.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: jika efisiensi menjadi prinsip utama, mengapa pos anggaran yang berkaitan langsung dengan kepala daerah tidak ikut dipangkas?
Reaksi Publik dan Pengamat
Sejumlah pengamat kebijakan publik menilai bahwa transparansi dalam penggunaan dana operasional gubernur perlu ditingkatkan. “Anggaran sebesar itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka. Masyarakat berhak tahu digunakan untuk apa saja,” ujar seorang analis dari Universitas Padjadjaran.
Di media sosial, tagar #EfisiensiSetengahHati sempat trending, menunjukkan keresahan publik terhadap kebijakan yang dinilai tidak sepenuhnya konsisten.
Kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan Gubernur Dedi Mulyadi membuka ruang diskusi penting tentang prioritas belanja daerah dan transparansi penggunaan dana publik. Di satu sisi, pemangkasan dana hibah dan perjalanan dinas menunjukkan komitmen terhadap efisiensi. Namun di sisi lain, besarnya anggaran operasional gubernur menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi kebijakan tersebut.
Apakah ini langkah awal menuju reformasi anggaran yang lebih adil, atau justru cerminan dari selektivitas dalam efisiensi? Waktu dan transparansi akan menjawabnya.












