Wapenja.com/Jawa Barat – Beberapa organisasi massa (ormas) Islam di Jawa Barat telah mengkritik Gubernur Dedi Mulyadi terkait gaya kepemimpinannya yang dianggap terlalu sentralistis atau “one-man show.”
Pada Jumat lalu, 25 Juli 2025, PWNU Jawa Barat menggelar rapat koordinasi bersama seluruh PCNU se Jawa Barat di Aula Gedung Dakwah PWNU Kota Bandung.
KH Aceng Amrullah, Sekretaris PWNU Jawa Barat, menyebut gaya kepemimpinan Dedi tidak membuka ruang musyawarah dan sukar melibatkan aspirasi umat.
Nada serupa datang dari Muhammadiyah. Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat, Iu Rusliana, mengingatkan, Gubernur Dedi jangan sampai mengeluarkan kebijakan sembrono, seperti keputusannya menetapkan 50 siswa dalam satu rombongan belajar.
Sejumlah sekolah Muhammadiyah di Depok, Garut, Cirebon, dan Sukabumi mengaku mengalami penurunan pendaftar serta di sisi lain ada ancaman penurunan kualitas karena ruang belajar terlalu padat.
Persatuan Islam atau Persis juga menyampaikan penyesalan mendalam. KH Jeje Zainuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Persis, menyebut kebijakan itu tidak mencerminkan kearifan dunia pendidikan.
Di Cirebon, dua tokoh sentral, yakni KH Dedi Wahidi (anggota DPR RI dari PKB) dan KH Juhadi Muhammad (Ketua PWNU Jabar) sebelumnya juga memimpin pernyataan bersama dari jaringan pesantren se-Jawa Barat.
Kritik ini berfokus pada potensi bahaya kepemimpinan yang kurang kolaboratif dan cenderung mengabaikan masukan dari berbagai pihak, termasuk ormas Islam.
Kritik yang dilontarkan ormas Islam terhadap Dedi Mulyadi mengarah pada kurangnya keterlibatan pihak lain dalam pengambilan keputusan.
Kepemimpinan yang terlalu sentralistis berpotensi mengabaikan perspektif dan kebutuhan masyarakat yang beragam, termasuk aspirasi dari ormas Islam yang memiliki peran penting dalam masyarakat Jawa Barat.
Hal ini dapat menyebabkan kebijakan yang kurang representatif dan berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, beberapa ormas mungkin juga mengkritik penggunaan media sosial oleh Dedi Mulyadi yang dinilai lebih menonjolkan citra pribadi daripada substansi kebijakan.
Meskipun media sosial dapat menjadi alat komunikasi yang efektif, penggunaan yang berlebihan dan berfokus pada pencitraan dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu penting yang membutuhkan penanganan serius. Kepemimpinan satu arah dapat berdampak negatif pada berbagai aspek pemerintahan.
Kurangnya partisipasi dan kolaborasi dapat menghambat proses pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. Selain itu, keputusan yang diambil mungkin tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi seluruh masyarakat, sehingga dapat memicu ketidakpuasan dan konflik sosial.
Kritik dari ormas Islam di Jawa Barat terhadap kepemimpinan Dedi Mulyadi menyoroti pentingnya kolaborasi dan partisipasi dalam pemerintahan yang demokratis.
Kepemimpinan yang efektif membutuhkan keterlibatan berbagai pihak untuk memastikan kebijakan yang diambil bermanfaat dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Gaya kepemimpinan yang terlalu sentralistis berpotensi menimbulkan masalah dan menghambat pembangunan yang berkelanjutan.***












