Tragedi Ponpes Al Khoziny Sidoarjo: 14 Tewas, 49 Masih Hilang, Sorotan Tajam pada Tata Kelola Pesantren

Wapenja.com/Sidoarjo – Duka menyelimuti Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, setelah bangunan mushala Pondok Pesantren Al Khoziny ambruk pada Senin malam. Peristiwa memilukan ini menelan korban jiwa dan memicu gelombang pertanyaan tentang keselamatan santri dan tata kelola lembaga pendidikan berbasis keagamaan di Indonesia.

Hingga Jumat malam pukul 23.05 WIB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat total 167 korban. Dari jumlah tersebut, 103 santri berhasil diselamatkan, 14 dinyatakan meninggal dunia, dan 49 lainnya masih dalam pencarian. Tim SAR gabungan yang terdiri dari Basarnas, BPBD, TNI-Polri, PMI, Tagana, Damkar, dan relawan lokal terus melakukan evakuasi tanpa henti.

“Kami bekerja 24 jam penuh. Evakuasi dilakukan dengan hati-hati karena struktur bangunan sangat rapuh dan berisiko runtuh kembali,” ujar Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.

Pada hari kelima pencarian, delapan jenazah berhasil ditemukan di sektor A1 hingga A4, termasuk di area tempat wudhu dan sisi timur bangunan yang paling parah terdampak. Proses identifikasi korban berlangsung intensif, termasuk melalui pengambilan sampel DNA untuk jenazah yang tidak dapat dikenali secara visual.

Sementara itu, 14 korban selamat masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Satu orang dirujuk ke Mojokerto karena luka berat, sementara 89 lainnya telah diperbolehkan pulang setelah dinyatakan stabil.

Tragedi ini memicu sorotan tajam dari berbagai kalangan terhadap minimnya pengawasan terhadap bangunan pesantren. Banyak lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia berdiri tanpa audit struktural yang memadai, dan sering kali luput dari pengawasan teknis pemerintah daerah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap ribuan pesantren di seluruh Indonesia. Mereka menyoroti lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan non-formal yang menampung anak-anak dalam jumlah besar.

“Ini bukan sekadar bencana alam atau kecelakaan konstruksi. Ini adalah kegagalan sistemik dalam menjamin keselamatan anak-anak yang dititipkan kepada lembaga pendidikan,” tegas Nadiya Rahman, pengamat kebijakan pendidikan dan perlindungan anak.

Informasi awal dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Sidoarjo menyebutkan bahwa bangunan mushala yang ambruk belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) resmi. Hal ini menambah kompleksitas kasus dan membuka kemungkinan penyelidikan hukum terhadap pengelola ponpes.

Pihak kepolisian telah memanggil sejumlah saksi dan pengurus ponpes untuk dimintai keterangan. Jika terbukti lalai, pengelola dapat dijerat dengan pasal kelalaian yang menyebabkan kematian dalam KUHP.

Warganet menyerukan reformasi tata kelola pesantren, transparansi dana pembangunan, dan perlindungan hukum bagi santri. Banyak yang membandingkan tragedi ini dengan insiden serupa di masa lalu yang tidak pernah ditindaklanjuti secara serius.