Wapenja.com/Makassar – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang semula digadang-gadang sebagai tonggak revolusi gizi anak sekolah di Indonesia kini menghadapi krisis di jantung pelaksanaannya: Kota Makassar. Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Panakkukang 02, yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi makanan bergizi untuk 12 sekolah dasar dan menengah, resmi menghentikan operasionalnya. Penyebabnya? Pagu anggaran makan per porsi yang ditetapkan hanya Rp6.500.
Dapur ini sebelumnya memproduksi sekitar 3.500 porsi makanan setiap hari sejak beroperasi pada Februari 2025. Penutupan mendadak ini berdampak langsung pada lebih dari 50 pekerja lokal yang kini kehilangan mata pencaharian, serta 3.569 siswa yang tak lagi menerima jatah makan bergizi harian. Sekolah-sekolah terdampak termasuk SD Inpres Tamamaung 1, 2, dan 3, SD Negeri Tamamaung, SD Inpres Karuwisi 2, hingga SMP Rama Sejahtera.
Arifin Gassing, mitra Badan Gizi Nasional (BGN), menyayangkan keputusan anggaran yang dinilai tidak sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. “Saya tidak mengerti kenapa harus Rp6.500. Padahal petunjuk Presiden jelas lebih besar dari itu,” ujarnya. Sebelumnya, anggaran MBG disebut berada di kisaran Rp8.000–Rp10.000 per porsi.
Kepala UPT SPF SD Negeri Tamamaung 1, Basora, mengungkapkan bahwa 383 siswanya kini tidak lagi menerima MBG. “Kalau datang kita terima, tidak datang mau bagaimana lagi. Kami berharap ke depan kebijakan ini lebih terarah,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Achi Solemenan, menegaskan bahwa penutupan dapur bukan semata karena anggaran, melainkan karena dapur tidak memenuhi standar operasional seperti sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), pengelolaan limbah, dan jaminan kualitas air.
Penutupan dapur MBG bukan hanya soal gizi anak, tapi juga soal ekonomi mikro. Mayoritas pekerja dapur adalah ibu rumah tangga dan janda yang menggantungkan hidup dari pekerjaan harian di dapur tersebut. “Banyak yang bingung karena tiba-tiba tidak ada pekerjaan lagi,” ujar Sri Bulan, salah satu pekerja dapur.
Di sisi lain, sekolah-sekolah kini terpaksa meminta siswa membawa bekal dari rumah, sebuah solusi darurat yang tidak menjamin kualitas gizi dan kebersihan makanan. Beberapa orang tua mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan makan anak setiap hari, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Penetapan anggaran Rp6.500 per porsi untuk makanan bergizi bukan hanya tidak realistis, tapi juga berpotensi merusak kredibilitas program MBG secara nasional. Ketika kebijakan teknis di lapangan bertabrakan dengan visi strategis pemerintah pusat, yang dirugikan adalah anak-anak dan pekerja lokal. Jika tidak segera dievaluasi, program MBG bisa berubah dari solusi menjadi sumber masalah baru.
Lebih dari sekadar angka, krisis ini mengungkap rapuhnya sistem distribusi MBG yang terlalu bergantung pada satu dapur untuk melayani banyak sekolah. Usulan agar setiap sekolah memiliki dapur mandiri patut dipertimbangkan agar ketahanan program tidak mudah runtuh hanya karena satu titik gagal.***












