Minta Damai Setelah Divonis? Razman Dinilai Terlambat Menyesal

Foto Razman Arif Nasution (instagram.com/razmanasution71).

Wapenja.com – Razman Arif Nasution, seorang pengacara yang kerap tampil kontroversial di ruang publik, kini menghadapi konsekuensi hukum serius setelah dijatuhi vonis 1,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Vonis ini dijatuhkan dalam perkara pencemaran nama baik terhadap sesama pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, yang selama ini dikenal dengan gaya flamboyan dan kiprah hukum yang luas.

Detail Kasus dan Dinamika Persidangan

  • Razman dinyatakan bersalah karena secara sengaja dan berulang menyebarkan informasi elektronik yang mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Hotman Paris. Majelis hakim menyebut tindakan tersebut melanggar UU ITE dan dilakukan secara sistematis.
  • Persidangan berlangsung panas. Ketika Hotman dihadirkan sebagai saksi, terjadi adu mulut yang memicu keributan di ruang sidang. Ketegangan ini bahkan berujung pada laporan dari PN Jakarta Utara ke Mahkamah Agung, yang menilai bahwa perilaku Razman dan timnya telah melecehkan marwah pengadilan.
  • Dalam sidang pembacaan vonis, Razman tidak hadir karena sedang menjalani perawatan medis di Penang, Malaysia, atas penyakit vertigo dan GERD yang dideritanya.

Dalam pernyataan publiknya, Razman mengaku tidak kecewa dengan vonis tersebut dan memilih untuk menghormati keputusan majelis hakim. Ia menyebut bahwa kesehatan adalah prioritas utamanya saat ini.

Ia juga menyampaikan permintaan maaf kepada berbagai lembaga hukum atas insiden-insiden selama proses persidangan, dan secara terbuka menyatakan keinginannya untuk mengakhiri konflik dengan Hotman Paris. “Saya ingin damai. Saya ingin fokus ke kesehatan dan pekerjaan,” ujarnya.

Razman telah menyiapkan langkah hukum lanjutan berupa banding, namun tetap menunjukkan sikap kooperatif dan reflektif terhadap proses hukum yang dijalaninya.

Implikasi Etis dan Profesional

  • Kasus ini tidak hanya berdampak pada reputasi pribadi Razman, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang etika profesi advokat di Indonesia. Mahkamah Agung bahkan sempat mempertimbangkan pencabutan sumpah advokat terhadap Razman dan rekannya, Firdaus Oiwobo, sebagai bentuk sanksi atas perilaku yang dianggap mencederai integritas lembaga peradilan.
  • Konflik ini juga menyeret nama Iqlima Kim, mantan asisten Hotman, yang sebelumnya menjadi pusat perhatian dalam isu-isu pribadi dan hukum yang melibatkan Hotman dan Razman.

Kasus ini menjadi cerminan bagaimana perseteruan antar tokoh hukum bisa berujung pada konsekuensi pidana dan etis yang serius. Di tengah sorotan publik, pertarungan narasi dan reputasi antara dua figur hukum ini membuka ruang diskusi tentang batas-batas kebebasan berpendapat, tanggung jawab profesional, dan pentingnya menjaga martabat institusi hukum.