Wapenja.com/Jakarta – Publik dikejutkan oleh temuan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkap bahwa sebanyak 211 dari 580 anggota DPR RI periode 2024–2029 tidak mencantumkan latar belakang pendidikan mereka saat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Fakta ini memicu pertanyaan besar: mengapa transparansi yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi justru diabaikan?
Dalam laporan Statistik Politik 2024, BPS mencatat bahwa hanya sebagian anggota DPR yang secara terbuka menyebutkan jenjang pendidikan terakhir mereka. Bahkan, 63 anggota DPR diketahui hanya lulusan SMA, sementara mayoritas lainnya memiliki gelar S1 dan S2. Namun, absennya informasi dari 211 anggota menimbulkan kekhawatiran akan integritas dan kualitas wakil rakyat yang terpilih.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut KPU sebagai “biang kerok” dalam kasus ini.
Menurut Direktur Eksekutif Formappi, Lucius Karus, KPU memberikan opsi kepada calon legislatif untuk menyembunyikan informasi pribadi, termasuk latar pendidikan. “Ini ironi dalam sistem demokrasi. Seharusnya pemilu menjadi momen keterbukaan, bukan ketertutupan,” ujar Lucius saat dikonfirmasi, Sabtu (20/9).
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati, menyebut fenomena ini sebagai kemunduran demokrasi. Ia menilai bahwa ketidakterbukaan ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. “Rakyat berhak tahu siapa yang mereka pilih, termasuk rekam jejak pendidikannya,” tegas Neni.
Menanggapi kritik tersebut, Komisioner KPU Idham Holik menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan verifikasi ulang terhadap data yang dimaksud. “Karena ini persoalan data terinci, maka saya cek terlebih dahulu agar data yang disampaikan terverifikasi,” ujarnya.
Ketika transparansi menjadi tuntutan utama dalam demokrasi, absennya informasi dasar seperti latar pendidikan wakil rakyat justru menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini sekadar kelalaian administratif, atau ada sesuatu yang sengaja disembunyikan?












