Wapenja.com/Jakarta – Babak baru kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah menunjukan titik terang, hal ini terbukti dari keseriusan tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) yang terus melakukan pendalaman secara intensif.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar menyatakan saat ini sedang melakukan pencarian informasi ke 28 orang saksi untuk dimintai keterangannya guna menelusuri siapa saja yang paling bertanggung jawab dalam perkara yang menyeret anggaran hingga nyaris Rp10 triliun.
“Tim penyidik akan memeriksa secara maraton seluruh saksi dalam waktu dekat,” ujar Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung, Senin 02 Juni 2025.
“Dari sejumlah 28 orang itu, dalam satu pekan ini akan didalami terus untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap dugaan tindak pidana ini,” ungkapnya.
Selain pemeriksaan saksi, penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) juga mengkaji barang bukti elektronik dan dokumen yang telah disita dari penggeledahan sejumlah apartemen.
Sebagai informasi, Jampidsus telah melakukan penggeledahan di tiga apartemen di daerah Jakarta Selatan dan menyita barang bukti yang diharapkan mampu memperjelas alur pemufakatan jahat.
Apartemen tersebut diketahui milik FH (Fiona Handayani) dan JT (Jurist Tan), mantan staf khusus Menteri Nadiem Makarim, yang digeledah pada tanggal 21 Mei 2025.
Selang dua hari kemudian, apartemen milik I (Ibrahim), staf khusus sekaligus staf teknis, juga diperiksa dan barang bukti berupa ponsel dan laptop disita.
Harli menjelaskan bahwa semua bukti akan disusun dalam satu rangkaian yang utuh.
Rangkaian ini akan menentukan apakah pejabat negara, pihak swasta, atau kombinasi keduanya terlibat dalam pengambilan keputusan yang mengarah pada dugaan korupsi tersebut.
Hasil pendalaman dari Kejagung menduga adanya manipulasi kajian teknis untuk mengarahkan pengadaan pada jenis laptop berbasis Chrome OS.
Perlu diketahui, dari hasil uji coba Chromebook pada 2019 oleh Pustekom menunjukkan ketidakefisienan program tersebut.
Sebelumnya tim teknis sudah sempat menyarankan untuk memakai sistem operasi Windows, tetapi rekomendasi itu tidak dihiraukan dan diganti dengan kajian baru yang mendukung penggunaan Chromebook.
Dilihat dari sisi pembiayaan, besaran pengadaan laptop itu menyerap dana yang sangat fantastis, yaitu ; Rp. 3,582 triliun dari Dana Satuan Pendidikan (DSP) dan Rp. 6,399 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK), sehingga totalnya mencapai Rp. 9,982 triliun.
Pengadaan laptop itu akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan, terutama setelah diketahui bahwa pemilihan Chromebook dilakukan meskipun tidak sesuai kebutuhan pendidikan nasional, karena tidak di dukung dengan penyediaan internet.
Penyidikan dari Kejagung harus bisa mengungkap pola korupsi dan aktor utama di balik keputusan yang menyebabkan potensi kerugian negara dalam skala besar ini.***