Wapenja.com/Bandung, 8 November 2025 — Ribuan warga miskin di berbagai daerah masih belum menerima pencairan Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK) hingga pekan kedua November. Meski Kementerian Sosial (Kemensos) menyatakan bahwa distribusi bansos berjalan sesuai jadwal, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: antrean panjang, data tidak sinkron, dan warga yang terpaksa pulang dengan tangan kosong.
Di Kelurahan Cibaduyut, puluhan warga berkumpul sejak pagi membawa dokumen lengkap, namun hanya segelintir yang berhasil diverifikasi. Siti Mariam, seorang ibu tunggal, mengaku sudah terdaftar sejak 2024 namun statusnya kini nonaktif.
“Saya sudah bawa KTP, KK, dan SKTM. Tapi katanya data belum masuk. Padahal saya rutin cek di aplikasi dan status saya aktif bulan lalu,” ujarnya dengan nada kecewa.
Pantauan lapangan menunjukkan bahwa proses verifikasi data peserta PBI-JK masih bergantung pada koordinasi manual antara kelurahan, Dinas Sosial, dan BPJS Kesehatan. Banyak warga yang terdaftar di DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) namun tidak tercatat aktif di sistem BPJS, menyebabkan pencairan tertunda.
Kritik juga datang dari aktivis kebijakan sosial yang menilai bahwa sistem digital Kemensos belum mampu menjembatani kebutuhan real-time masyarakat. “Ini bukan sekadar soal teknis, tapi soal keadilan akses. Kalau sistem tidak bisa menjamin transparansi, maka bansos hanya jadi simbol, bukan solusi,” ujar Raka Prasetya, peneliti kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran.
Kemensos menjadwalkan pencairan bansos PBI-JK antara 8–14 November 2025, bersamaan dengan program BPNT, BLT, dan PKH. Namun, banyak daerah melaporkan keterlambatan, bahkan penundaan tanpa kejelasan. Di beberapa wilayah, rekening bank warga dinyatakan tidak valid, meski sebelumnya digunakan untuk pencairan bansos lain.
Syarat Pencairan yang Membingungkan Warga:
- Status peserta aktif dan terverifikasi di BPJS
- Dokumen lengkap: KTP, KK, SKTM, nomor BPJS
- Rekening bank aktif dan sesuai nama
- Surat pengantar RT/RW atau Dinsos
Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga
Kemensos dan BPJS Kesehatan mengimbau warga untuk melakukan pembaruan data melalui operator desa. Namun, minimnya sosialisasi dan lemahnya koordinasi membuat proses ini tak efektif. Banyak warga yang tidak tahu harus ke mana, dan siapa yang bertanggung jawab atas status kepesertaan mereka.
Di sisi lain, pemerintah daerah mengaku kewalahan karena tidak mendapat data terbaru dari pusat. “Kami hanya bisa bantu sebatas administrasi. Kalau data dari Kemensos belum masuk, kami tidak bisa berbuat banyak,” ujar seorang petugas kelurahan yang enggan disebutkan namanya.
Keterlambatan pencairan PBI-JK bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik dalam tata kelola bansos. Di tengah krisis ekonomi dan tekanan hidup yang meningkat, ketidakpastian akses terhadap jaminan kesehatan adalah bentuk pengabaian terhadap hak dasar warga negara.
Jika pemerintah tidak segera memperbaiki sistem verifikasi dan memperkuat koordinasi lintas lembaga, maka bansos akan terus menjadi ladang keluhan, bukan perlindungan sosial. Transparansi, akuntabilitas, dan kecepatan adalah tiga hal yang harus dijadikan prioritas, bukan sekadar jargon birokrasi.












