[Lanjutan]
“Rapopo, Kui Mung “Wedhus Gembel” Sing Metu (Tidak apa apa, Itu Hanya “Wedhus Gembel” Yang Keluar)
kata Mbah Maridjan sambil tetap mencangkul dibelakang rumahnya.
Sayapun kembali beraktivitas di Ladang belakang rumah Mbah Maridjan. Walaupun tidak biasa aktivitas diladang, namun saya merasa seperti sedang berada dirumah sendiri. Terasa seperti sedang membantu bapak sendiri karena Mbah Maridjan begitu sabar dan bijak dengan saya yang selalu banyak ingin tau.
Maklum. Sejak pertama mengenal beliau di tahun 1989 an, saya sudah merasa sebagai bagian dari keluarga Besar Abdi Dalem Juru Kunci Gunung Merapi ini, karena hampir tiap akhir pekan saya selalu berkunjung ke Dusun Kinahrejo yang asri dengan masyarakatnya yang selalu ngangeni keramahan dan ketulusannya.
Di era tahun 1980-1990 an Dusun Kinah Redjo merupakan dusun “terisolir’ yang jarang dijamah masyarakat luar. Hanya para pendaki gunung yang bisa datang dan tau keberadaan Dusun tertinggi di lereng Gunung Merapi ini.
Berkali kali dentuman keras dan suara gemuruh terdengar sangat keras dan terasa sangat dekat. Mbah Maridjan hanya sesekali menoleh ke arah Puncak Merapi dan kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya mencangkul.
Saat kabut menghilang, terlihat batu batu berhamburan menyusui lereng dan pecah menjadi serpihan serpihan yang bertebaran dilereng gunung.
“Watune kae yo sak sapi, yo ono sing sak omah” (batunya itu ya sebesar sapi, ada juga yang sebesar rumah), kata Mbah Maridjan sambil memandang saya yang begitu terpukau memandang puncak Merapi.
Terlihat sangat dekat karena memang jarak Dusun Kinah Redjo dengan Puncak Gunung Merapi hanya sekitar 3-4 km saja. Sebuah jarak yang sangat dekat, sehingga ketika Merapi Sedang aktif suara dentuman dan gemuruhnya seperti didepan mata.
Disiang hari, suara gemuruh dan dentuman berkali kali yang terdengar tidak mempengaruhi aktivitas warga dan keluarga Mbah Maridjan. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa.
Batu batu besar yang berguguran kemudian pecah menjadi bagian yang lebih kecil juga tidak membuat mereka takut. Bagi kami (pendaki gunung) yang asalnya takut, justru kemudian juga menikmati pemandangan menakjubkan ini dari jarak yang sangat dekat.
Dimalam hari. pemandangan lebih luar biasa. Rupanya batu batu yang berguguran itu ketika malam hari terlihat merah menyala dan batu itu menjadi batu pijar yang berloncatan seperti kembang api.
Seperti biasa. saat malam tiba saya biasa njagongi beliau diruang tamu sambil nonton ketoprak,wayang, uyon-uyon atau tayangan dagelan dan berita dari TVRI.
Kalau tidak ada siaran TV menarik. Mbah Maridjan biasanya kedapur dan duduk diperapian sambil menikmati teh nasgitel (panas, legi, kentel) buatan simbok (Mbah Maridjan Putri).
Dengan cemilan singkong dan jagung godhog kami biasa glenak glenik di dapur kediaman Mbah Maridjan yang kalau itu masih belum dikenal masyarakat luas. Biasanya ketika berkunjung ke Kinah Redjo, saya bawa makanan khas Yogyakarta seperti geplak atau bakpia yang kemudian kami nikmati bersama singkong. Jagung dan umbi-umbian yang tumbuh dilereng Merapi.
Suatu ketika saya pernah iseng nanya ke Mbah Maridjan.
Siapa nama nama makhluk ghoib yang ada di “Kraton” Merapi ?.
Karena saya penasaran, beberapa kali saya ikut ritual Labuhan dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Gunung Merapi yang dipimpin oleh Mbah Maridjan.
Selain melafalkan doa secara islam (dzikir, tahlil. tawasul dan doa) beliau juga menyebut nama-nama yang menurut saya asing ditelinga masyarakat awam.
Nggo opo pingin ngerti ? (buat apa pingin tau?).
Tanya Mbah Maridjan sambil bercanda saat saya menanyakan hal hal ghoib seputar Gunung Merapi.
Dan pada saat itu, karena Mbah Maridjan belum mau cerita, maka sayapun tidak pernah lagi bertanya dan hanya bisa bertanya tanya. Sebetulnya siapa nama nama yang sering Mbah Maridjan sebut saat memimpin ritual prosesi Labuhan Gunung Merapi.
Alhamdulillah, sekitar tahun 1990, Mbah Maridjan “tiba-tiba” mau cerita khusus dengan. Beliau menceritakan keberadaan “Dunia Lain” yang berada di kawasan Gunung Merapi. Nama-nama makhluk ghoib, tugas dan kwajibannya serta dimana saja mereka bertugas atau tinggal dijelaskan sangat detail kepada saya saat itu.
Nama nama yang akrab didengar saat mengikuti prosesi Labuhan Kraton Yogyakarta dan juga nama nama lain yang tidak pernah disebut saat prosesi Labuhan bisa saya ketahui langsung.
Nama-nama seperti Eyang Panembahan Prabu Jagad, Eyang Permono Permadi, Eyang Anonto Boga, Nyai Gandung Mlati, Krincing Wesi dan masih banyak nama nama lain diceritakan secara detail kepada saya dan saya merasa sangat bersyukur atas pengetahuan spiritual yang langka ini.
Sekitar tahun 1990-1991, sekolah ada masa PKL (Pengalaman Kerja Lapangan) dan karena saya sebelumnya sudah akrab dengan keluarga Mbah Maridjan dan juga sudah “jatuh cinta” dengan Gunung Merapi, maka saya mengajukan PKL di Kantor Seksi Penyelidikan Gunung Merapi, Direktorat Vulkanologi, Yogyakarta.
Bahkan di era tahun 1990 an ketika kuliah, sayapun kembali mendalami Gunung Merapi sebagai bahan utama penelitian skripsi saya sehingga selama 10 tahun an (era tahun 1980-1990) saya berkesempatan mendalami Gunung Merapi secara spiritual, kearifan lokal dan Ilmu pengetahuan.
Disinilah saya jadi paham korelasi ilmu spiritual & kearifan lokal dengan ilmu sains teknologi modern yang ternyata sesuai dan tidak berbenturan dalam konteks memahami Gunung Merapi secara komprehensif.
Sebelumnya saya sering mendengar cerita bahwa selama puluhan tahun wilayah Yogyakarta aman dan tidak pernah kerkena bencana akibat letusan Gunung Merapi. Menurut cerita ini karena adanya kekuatan ghoib yang melindungi rakyat Yogyakarta sehingga setiap terjadi letusan Merapi selalu ke arah yang tidak menjangkau wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ternyata secara Ilmu pengetahuan dan teknologi saya baru tahun bahwa dibalik “tameng ghoib” itu ada bangunan fisik alami berupa sebuah tebing besar memanjang kebawah yang disebut dengan bukit “Geger Boyo” (punggung buaya).
Bentuknya adalah bukit kubah lava keras berbentuk dinding yang kokoh bergerigi seperti punggung seekor buaya. Bukit ini terbukti puluhan tahun menjadi pelindung wilayah Yogyakarta dari ancaman lava pijar dan awan panas Gunung Merapi.
Masa letusan (erupsi) Gunung Merapi terjadi sekitar 2-7 tahun sekali dengan volume kecil dan sedang dan pada periode panjangnya adalah erupsi besar. Setiap masa erupsi selalu disertai guguran guguran lava pijar berhari hari bahkan berbulan bulan sebelum letusan besar terjadi. Sebagian lava yang keluar pada masa erupsi itu kemudian mengeras dan membentuk kubah kubah lava.
Jaman dahulu, saat fase erupsi terjadi, lava Merapi selalu “menyiram” punggung Geger Boyo, sehingga punggung kubah lava yang tadinya rapuh atau runtuh akibat erupsi sebelumnya, kembali terbangun menjadi kokoh dan kuat lagi.
Inilah yang kemudian saya ingat dengan kata-kata Mbah Maridjan saat fase erupsi terjadi siang dan malam dengan suara yang bergemuruh dan menggelegar.
“Kae Kraton Merapi Lagi Duwe Gawe Mbangun”. (Itu Kraton Merapi Sedang Punya Hajad Membangun)
Masya Allah, saya baru sadar dan paham. Ternyata Kraton Merapi benar benar (secara fisik) sedang punya hajad membangun benteng perlindungan untuk warga Yogyakarta. Buat melindungi kawulo Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Secara alamiah dan bisa dilihat secara fisik, Gunung Merapi memperbaiki dinding bukit Geger Boyo agar kembali kokoh dan kuat agar erupsi Gunung Merapi agar tidak membahayakan rakyat Yogyakarta.
Bahaya primer letusan Merapi adalah lava pijar dan awan panas, ketika lava pijar itu dingin dan belum kering akan menjadi lahar yang ketika terbawa air akan menjadi bahaya sekunder lahar dingin yang bisa “menyapu” apa saja yang dilewatinya hingga puluhan km dari Puncak Merapi.
Lava Pijar dan Awan Panas menjadi bahaya primer karena dampaknya langsung menghanguskan apa saja yang dilewatinya. Lava Pijar bersuhu lebih dari 1000 derajat celsius akan mengalir kepunggung Gunung dan kemudian mengikuti aliran sungai dibawahnya.
Awan Panas adalah gumpalan atau kepulan asap yang membumbung ke angkasa akibat aliran lava pijar berkecepatan tinggi dibawahnya dengan suhu lebih dari 800 derajat celcius yang tentu saja apa saja yang dilewati akan hangus terbakar.
Karena bentuknya putih pekat bergumpal-gumpal menyerupai Bulu domba maka masyarakat leher Merapi menyebutnya dengan “Wedhus Gembel”. Jadi bukan makhluk ghoib berbentuk kambing yang akan muncul menjelang letusan (erupsi) besar terjadi.
Masyarakat lereng Merapi ketika itu selalu mengacu baru akan mengungsi ketika “Wedhus Gembel” Besar sudah muncul sebagai pertanda masyarakat harus mengungsi.
Secara sains & teknologi memang benar bahwa erupsi besar Merapi akan terjadi setelah muncul erupsi erupsi kecil selama beberapa harin atau beberapa bulan baru kemudian terjadi erupsi besar.
Ketika erupsi besar terjadi, maka pada waktu itu wilayah Yogyakarta sudah aman, karena bukit Geger Boyo sudah kembali te kokoh sehingga aliran lava pijar dan awan panas mengalir dijalur yang tidak membahayakanmasyarakat Yogyakarta karena aliran lava dan awan panas akan mengikuti alur cerukan sungai (jurang), ketika cerukan berbelok maka lava dan awan panas juga akan berbelok mengikutinya.
Secara spiritual, rakyat Yogyakarta dilindungi “kekuatan ghoib” melalui hubungan spiritual Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Kraton Merapi melalui Abdi Dalem Juru Kunci yang ditugaskan di Gunung Merapi.
Secara sains & teknologi, Yogyakarta dilindungi kekuatan fisik alami yang “ditakdirkan” melindungannya dari bencana Gunung Merapi. Mungkin kemudian kita bertanya tanya.
Kenapa saat erupsi tahun 2010 wilayah Yogyakarta radius 7-10 km bisa terkena Bencana Gunung Merapi, bahkan Abdi Dalem setia Mas Ngabehi Suraksohargo (Mbah Maridjan) gugur dalam menjalankan tugas serta Dusun Kinah Rejo rata dengan tanah diterjang awan panas Merapi?
[Bersambung]

 
							










