Wapenja.com/Majalengka – Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati kembali menjadi simbol kegagalan perencanaan infrastruktur nasional. Dalam konferensi pers bertajuk “Satu Tahun Kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran”, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), secara terbuka menyebut bandara tersebut sebagai “in the middle of nowhere”.
Pernyataan AHY bukan sekadar kritik teknis, melainkan pengakuan atas cacat fundamental dalam desain dan eksekusi proyek yang menelan anggaran Rp 2,6 triliun dari APBN, belum termasuk pembebasan lahan dari APBD Jawa Barat. Bandara yang diresmikan dengan harapan menjadi gerbang udara utama Jawa Barat itu kini justru menjadi monumen sepi, jauh dari pusat aktivitas ekonomi dan minim konektivitas.
“Siapa yang pernah ke sana? Seperti apa Kertajati? Sepi? Tapi bagus kan? Besar, bagus, megah, tapi in the middle of nowhere,” ujar AHY dalam siaran langsung YouTube Kemenko Infrastruktur, Jumat (24/10).
Kritik terhadap BIJB bukan hal baru. Sejak awal, para pakar transportasi dan perencana kota telah mempertanyakan lokasi bandara yang jauh dari pusat populasi dan tidak terhubung dengan jalur kereta atau jalan tol utama. Keterlambatan pembangunan Tol Cisumdawu, yang baru rampung setelah bandara berdiri, memperparah isolasi Kertajati dari arus mobilitas warga.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menambahkan sindiran lokal yang tajam: “Peuteuy Selong”—buah yang besar tapi kosong di dalam. Ungkapan ini menggambarkan kondisi bandara yang megah secara fisik namun gagal secara fungsi dan dampak ekonomi.
Kerugian operasional BIJB dilaporkan mencapai Rp 60 miliar per tahun. Maskapai enggan membuka rute reguler karena rendahnya permintaan, dan masyarakat lebih memilih Bandara Husein Sastranegara di Bandung yang lebih mudah diakses. Bahkan, beberapa penerbangan yang sempat dialihkan ke Kertajati akhirnya kembali ke Bandung karena protes publik.
Kegagalan Kertajati membuka pertanyaan besar: bagaimana proyek sebesar ini bisa lolos tanpa kajian transportasi dan sosial yang matang? Apakah ini cerminan dari pola pembangunan yang lebih mementingkan fisik daripada fungsi?
AHY mengakui bahwa proyek ini harus menjadi pelajaran penting dalam perencanaan infrastruktur ke depan. “Kita tidak bisa hanya membangun yang besar dan megah, tapi harus terintegrasi dengan kebutuhan masyarakat dan aksesibilitas wilayah,” tegasnya.












