Wapenja.com/Jakarta – Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan penundaan target ambisius 82,9 juta penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga akhir tahun 2025. Keputusan ini diambil menyusul lonjakan kasus keracunan makanan yang mengguncang kepercayaan publik terhadap program unggulan pemerintah tersebut.
Dalam pidatonya di Musyawarah Nasional Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Prabowo menyampaikan bahwa hingga September 2025, baru sekitar 30 juta warga—terutama anak-anak sekolah dan ibu hamil—telah menerima manfaat MBG. “Kita bangga dengan capaian 30 juta, tapi saya masih sangat sedih karena masih ada 50 juta anak dan ibu hamil yang menunggu,” ujarnya dengan nada emosional.
Program MBG, yang diluncurkan pada Januari 2025, merupakan bagian dari janji kampanye Prabowo untuk mengatasi stunting dan gizi buruk secara sistemik. Namun, pelaksanaannya menghadapi tantangan besar. Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 5.914 kasus keracunan makanan yang diduga terkait dengan MBG, tersebar di 21 provinsi. Insiden paling parah terjadi di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, dengan puluhan anak dirawat intensif akibat kontaminasi makanan.
Penyelidikan awal menunjukkan bahwa sebagian besar kasus berasal dari dapur MBG yang baru beroperasi, dengan penyebab utama berupa kontaminasi bakteri seperti Escherichia coli, Salmonella, dan Staphylococcus aureus. Beberapa dapur diketahui tidak memiliki fasilitas sanitasi memadai dan tenaga kerja belum terlatih secara optimal.
Sebagai respons cepat, Presiden Prabowo menginstruksikan agar seluruh dapur MBG dilengkapi dengan test kit untuk menguji keamanan makanan sebelum distribusi. Ia juga menekankan perlunya pelatihan intensif bagi tenaga dapur dan pengawasan ketat terhadap rantai pasok bahan pangan. “Kita tidak bisa kompromi soal keselamatan anak-anak kita,” tegasnya.
Penundaan target MBG memunculkan perdebatan di kalangan pengamat kebijakan. Di satu sisi, langkah ini dianggap realistis dan menunjukkan komitmen terhadap kualitas. Di sisi lain, kritik bermunculan terkait lemahnya perencanaan awal dan minimnya audit publik terhadap vendor penyedia makanan. Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Gizi Watch menyebut bahwa “ekspansi cepat tanpa fondasi kuat adalah resep bencana.”
Dalam pidatonya, Prabowo mengutip Bung Karno: “Perut lapar tidak bisa menunggu,” sebagai penegasan bahwa program MBG tetap akan dilanjutkan, namun dengan pendekatan yang lebih hati-hati dan terukur. Ia juga mengajak partai politik dan masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawasi pelaksanaan program ini agar tidak menjadi sekadar proyek populis.
Dengan anggaran MBG yang mencapai Rp 87 triliun per tahun, sorotan terhadap efektivitas dan transparansi program ini diperkirakan akan semakin meningkat menjelang tahun anggaran 2026. Pemerintah kini berada di persimpangan antara menjaga kredibilitas dan memenuhi janji sosial yang telah ditunggu jutaan keluarga Indonesia.












