Wapenja.com/Pyongyang – Dunia internasional kembali dikejutkan oleh laporan mengerikan dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB yang mengungkap praktik eksekusi publik di Korea Utara terhadap warga yang kedapatan menonton atau menyebarkan film asing. Tindakan ini disebut sebagai bagian dari strategi negara untuk mempertahankan kontrol total atas informasi dan budaya yang dikonsumsi rakyatnya.
Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru Kantor Hak Asasi Manusia PBB, sebagaimana dilansir Euronews, Jumat (12/9/20250). Laporan yang dirilis oleh Euronews, eksekusi semacam ini bukanlah hal baru, namun jumlahnya meningkat drastis sejak tahun 2020. Pemerintahan Kim Jong Un, yang berkuasa sejak 2011, telah memperluas cakupan pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati, termasuk aktivitas yang sebelumnya dianggap ringan seperti menonton film Korea Selatan atau Hollywood.
Media Asing Sebagai Ancaman Ideologis
Di Korea Utara, akses terhadap media asing dianggap sebagai ancaman langsung terhadap ideologi negara. Film, musik, dan acara televisi dari luar negeri dinilai dapat merusak loyalitas warga terhadap rezim dan membuka mata mereka terhadap kehidupan di luar perbatasan. Oleh karena itu, konsumsi media asing dikategorikan sebagai “pengkhianatan budaya” dan dapat berujung pada hukuman ekstrem.
Eksekusi dilakukan secara terbuka, sering kali di hadapan ratusan warga, termasuk anak-anak. Tujuannya bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga menciptakan rasa takut yang mendalam di masyarakat. “Ini adalah bentuk teror psikologis yang dilembagakan,” ujar seorang pelarian Korea Utara yang diwawancarai oleh tim PBB.
Kerja Paksa dan Pelanggaran Hak Atas Pangan
Laporan PBB juga menyoroti pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang terjadi secara sistematis. Salah satunya adalah kerja paksa di lokasi berbahaya seperti tambang batu bara, yang sering melibatkan anak yatim dan keluarga miskin. Mereka dijadikan tenaga kerja tanpa perlindungan, upah, atau akses terhadap layanan kesehatan yang memadai.
Kelangkaan pangan juga menjadi isu kronis. Banyak warga yang hidup dalam kondisi kelaparan ekstrem, sementara distribusi makanan dikontrol ketat oleh pemerintah dan sering kali digunakan sebagai alat politik untuk menghukum atau mengganjar kesetiaan.
Dekade yang Hilang
Komisaris Tinggi HAM PBB, Volker Turk, menyebut sepuluh tahun terakhir sebagai “dekade yang hilang” bagi rakyat Korea Utara. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa jika negara tersebut terus berada di jalur penindasan dan isolasi, maka penderitaan rakyat akan semakin dalam dan berkepanjangan.
Laporan ini disusun berdasarkan wawancara dengan lebih dari 300 pelarian Korea Utara selama satu dekade terakhir. Mereka menggambarkan kehidupan di bawah rezim yang sangat tertutup, di mana propaganda negara mendominasi setiap aspek kehidupan dan informasi dari luar hampir mustahil diakses.
Reaksi Internasional dan Tantangan Diplomatik
Meski laporan ini memicu kecaman global, tindakan nyata dari komunitas internasional masih terbatas. Sanksi ekonomi telah diberlakukan selama bertahun-tahun, namun dampaknya terhadap perubahan kebijakan dalam negeri Korea Utara sangat minim. Negara tersebut tetap menutup diri dan menolak kerja sama dengan lembaga internasional, termasuk dalam isu kemanusiaan.