Catatan Redaksi
Di sebuah sekolah dasar di pinggiran Kabupaten Garut, Siti Rahma (42) duduk di ruang guru dengan wajah penuh harap. Dua puluh tahun ia mengajar sebagai tenaga honorer, dengan gaji yang sering kali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Kami selalu dengar kabar PPPK jadi jalan keluar. Tapi ternyata tidak sesederhana itu,” ujarnya lirih.
Cerita Siti bukanlah kisah tunggal. Di berbagai daerah, ribuan tenaga honorer hidup dalam ketidakpastian yang sama. Mereka mengabdi, mendidik, dan melayani, namun status mereka tetap “sementara.”
Latar Belakang Kebijakan
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) lahir dari Undang-Undang ASN 2014. Tujuan utamanya bukan sekadar mengangkat honorer, melainkan memberi fleksibilitas bagi instansi pemerintah untuk merekrut tenaga profesional sesuai kebutuhan. Konsep ini dianggap lebih adaptif dibandingkan pola PNS yang mengikat seumur hidup.
Namun di lapangan, publik—terutama tenaga honorer—menyamakannya dengan “jalur khusus” pengangkatan. Harapan ini tumbuh karena selama bertahun-tahun, isu pengangkatan honorer menjadi janji politik yang kerap diulang dalam kampanye. PPPK pun dipersepsikan sebagai jawaban atas janji yang lama tertunda.
Benturan Persepsi
Bagi pemerintah, PPPK adalah instrumen manajemen birokrasi modern. Bagi honorer, ia adalah simbol harapan. Perbedaan persepsi ini menimbulkan gesekan.
Organisasi tenaga honorer menilai kebijakan ini belum memberi kepastian status. “Kami sudah mengabdi puluhan tahun, tapi tetap dianggap tenaga sementara,” kata Jajang, guru honorer di Cirebon.
Di sisi lain, pejabat Kementerian PAN-RB menegaskan bahwa PPPK bukanlah solusi massal. “PPPK adalah mekanisme fleksibilitas, bukan pengangkatan otomatis.” Pemerintah berkomitmen mencari jalan transisi yang adil, namun tetap menekankan kebutuhan profesionalisme dan efisiensi birokrasi.
Suara dari Lapangan
Di desa-desa, isu PPPK menjadi obrolan rutin. Banyak keluarga honorer menggantungkan masa depan pada kepastian status. Ketidakjelasan membuat sebagian memilih pekerjaan sampingan, dari berdagang hingga menjadi buruh tani.
Seorang guru di Indramayu, misalnya, mengaku harus mengajar pagi hingga siang, lalu bekerja sebagai tukang ojek online di sore hari. “Kalau hanya mengandalkan gaji honorer, anak saya tidak bisa kuliah,” katanya.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa kebijakan kepegawaian bukan sekadar soal administrasi, melainkan menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Dampak Sosial
Ketidakpastian status honorer menciptakan ketegangan sosial. Di satu sisi, masyarakat menuntut penghargaan atas pengabdian mereka. Di sisi lain, pemerintah berusaha menata birokrasi agar lebih ramping dan efisien.
Ketegangan ini juga memunculkan rasa ketidakadilan. Honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi merasa diperlakukan sama dengan tenaga baru yang masuk melalui jalur PPPK. “Kami seperti tidak dihargai,” keluh seorang tenaga kesehatan di Tasikmalaya.












