Wapenja.com/Jakarta – Ledakan yang mengguncang SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat (7/11) siang, memunculkan gelombang keprihatinan dan kemarahan publik. Insiden yang menyebabkan dua siswa luka berat dan belasan lainnya mengalami trauma ini kini tengah diselidiki oleh pihak kepolisian, dengan dugaan awal mengarah pada keterlibatan seorang siswa yang diduga menjadi korban perundungan.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, dalam pernyataan resminya mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas motif di balik ledakan tersebut. Ia menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam menangani kasus ini.
“Polisi harus mengungkap motif dan latar belakang kejadian ini secara menyeluruh, termasuk jika ada indikasi bahwa pelaku merupakan korban bullying. Hal ini harus menjadi perhatian serius semua pihak,” ujar Lalu dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu, 8 November 2025.
Perundungan: Luka Lama yang Tak Pernah Sembuh
Menurut informasi yang beredar, pelaku diduga mengalami perundungan berkepanjangan dari rekan-rekannya. Beberapa saksi menyebut bahwa siswa tersebut kerap menjadi sasaran ejekan dan kekerasan verbal, bahkan fisik, sejak duduk di bangku kelas X. Namun, laporan-laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh pihak sekolah.
Psikolog anak dan remaja, Dr. Ratih Wulandari, menilai bahwa kasus ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan suportif.
“Kita terlalu sering mengabaikan sinyal-sinyal distress dari anak-anak. Ketika mereka tidak punya ruang untuk bicara, mereka bisa mengambil jalan ekstrem,” jelasnya.
Sistem Pendidikan yang Gagal Melindungi
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sepanjang 2025, terdapat lebih dari 1.200 laporan kasus perundungan di lingkungan sekolah. Namun, hanya 18% yang ditindaklanjuti secara hukum atau melalui mediasi formal. Sisanya menguap tanpa penyelesaian.
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Pendidikan untuk Semua (LAPSA), Dimas Arifin, menyebut bahwa banyak sekolah masih mengedepankan citra ketimbang keselamatan siswa.
“Alih-alih menyelesaikan masalah, banyak sekolah justru menutup-nutupi kasus perundungan demi menjaga reputasi. Ini berbahaya,” tegas Dimas.
Seruan Reformasi: Dari Kurikulum hingga Kesehatan Mental
Lalu Hadrian Irfani menyerukan agar Kementerian Pendidikan, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan siswa. Ia juga mendorong integrasi pendidikan karakter dan layanan konseling yang lebih kuat dalam kurikulum nasional.
“Kita butuh sistem yang tidak hanya menghukum pelaku, tapi juga menyembuhkan korban dan mencegah kekerasan sejak dini,” tambahnya.












