Tata Cara Penggunaan Gelar Darah Dalem Lingkup Catur Sagatra Mataram

Oleh: R.Budi Ariyanto Surantono Hadinagoro (Ki Ariyo Wiro Sentono Al Jawi) – (*)

 

Setiap Tedhak Turun Trah Mataram memiliki takdir gelar bawaan sejak lahir yang bisa disematkan didepan namanya dan bisa diturunkan hingga beberapa generasi dibawahnya.

Gelar tedhak turun adalah takdir mutlak yang tidak bisa ditolak dan tidak bisa dibeli.

Pengakuan nazab darah dalem bisa diperoleh dari keturunan dan pengakuan adat dari keluarga dan lingkungannya. Pengakuan juga bisa dari legalitas nazab (kekancingan/pikukuh/nawala kekancingan/Piagam Sentono) yang dikeluarkan Kraton / Puro di Lingkungan Catur Sagatra Mataram.

Ada aturan baku penggunaan gelar dilingkungan Kraton/Puro Catur Sagatra.Setiap penggunaan gelar harus berdasarkan pengakuan yang jelas baik secara tersirat (defacto) maupun tersurat (dejure).

Secara tersirat, seseorang berhak menggunakan gelar nasab apabila mendapatkan pengakuan keluarga dan lingkungan yang secara turun menurun dan diakui kebenarannya.

Secara tersurat seseorang diakui memiliki nazab darah dalem karena memiliki bukti otentik (administratif) berupa piagam nazab yang dikeluarkan Kraton/Puro dilingkungan Catur Sagatra Mataram.

Namun demikian, pengakuan nazab darah dalem baik yang tersurat maupun tersirat tidak perlu diperdebatkan keabsahannya dan itu menjadi ranah individu masing-masing.

Banyak dijumpai, tedhak turun yang tinggal turun temurun bahkan menempati rumah rumah/ bangunan milik kraton/Puro justru merasa tidak perlu mengurus piagam nazab (bahkan banyak yang tidak memiliki) karena secara defacto mereka sudah diakui keberadaan dan garis nazab nya secara adat.

Justru legalitas nazab berupa Kekancingan (Kraton Ngayogyakarta)/Pikukuh (Kraton Surakarta)/Nawala Kekancingan (Kadipaten Pakualaman)/Piagam Sentono (Kadipaten Man gkunegran) lebih banyak diburu tedhak turun yang tinggal diluar lingkungan kraton.

Dilingkungan Kraton/Puro Catur Sagatra Mataram kita Mengenal gelar Raden (disingkat R). Ini adalah gelar umum bagi Tedhak Turun Raja atau Adipati.

Gelar Raden digunakan untuk tedhak turun laki laki yang sudah menikah, sementara untuk perempuan bergelar Raden Nganten (R.Ngt.).

Baca Juga  TNI Kawal Pengamanan Kantor Kejaksaan di Kejati Jateng dan DIY, Perkuat Sinergi Penegakan Hukum

Bagi yang belum menikah, mendapatkan gelar Raden Bagus (R.Bg./R.B.) bagi laki laki atau Raden Roro (R.Rr./R.R.) atau ada juga penyebutan Raden Ajeng (R.A./R.Aj.) bagi perempuan yang belum menikah.

Jadi secara administratif, apabila seseorang sejak lahir pada akta kelahiranya tertulis Raden Roro (R.Rr./R.R) maka sebetulnya ketika sudah menikah harusnya gelarnya berubah menjadi R.Ngt. (Raden Nganten). Namun selama belum menikah bisa tetap menggunakan gelar R.R. begitu juga dengan yang laki laki.

Mungkin kita juga pernah melihat ada seseorang dengan gelar Raden Mas (R.M.) untuk laki laki atau Raden Ayu (R.Ay.) untuk perempuan. Itu adalah gelar yang berlaku bagi Tedhak Turun dengan urutan keturunan (grad) I-IV (Kasultanan Yogyakarta) atau grad I-V (Kasunanan Surakarta).

Jadi jika kita mengacu pada pakem administratif kraton, tedhak turun Raja atau Adipati dengan garis keturunan I-IV atau I-V berhak menggunakan gelar Raden Mas atau Raden Ayu, sedangkan keturunan berikutnya bergelar Raden atau Raden Nganten.

Gelar nazab tidak sama dengan gelar pangkat. Gelar nazab adalah gelar bawaan sejak lahir dan merupakan takdir mutlak seseorang ketika dilahirkan ke dunia, sedangkan gelar pangkat adalah gelar yang didapat karena pengabdian (sebagai abdi dalem) atau penghargaan (sebagai Abdi Budaya diluar Kraton) yang diberikan oleh Kraton/Kadipaten.

Jadi jelas bahwa gelar nazab bisa bersifat turun temurun (bisa diwariskan) otomatis kepada anak cucu sedangkan gelar pangkat tidak bisa turun menurun.

Penggunaan gelar nazab dan pangkat juga memiliki ketentuan. Dilingkup Kraton Ngayogyakarta, gelar pangkat dan gelar nazab bisa digabung apabila seorang tedhak turun juga menjadi seorang abdi dalem.

Misalnya seorang tedhak turun dengan gelar Raden (R), kemudian menjadi Abdi Dalem dengan pangkat Ngabehi (Ng.) maka gelarnya menjadi Raden Ngabehi (R.Ng.) begitu juga dengan pangkat lainnya seperti Raden Lurah, Raden Panewu, Raden Wedono, Raden Tumenggung dan seterusnya.

Baca Juga  Seruan KAWAL Indonesia Pada Peringatan Hari Anak Nasional 2025

Sementara apabila tidak memiliki gelar nazab namun sebagai Abdi dalem maka gelarnya menggunakan sebutkan Mas..misalnya Mas Ngabehi (M.Ng.), Kanjeng Mas Tumenggung (K.M.T) dan sebagainya.

Masing masing Kraton dan Puro dilingkungan Catur Sagatra Mataram memiliki tata cara tersendiri dalam penggunaan gelar pangkat dan nazab.

Walaupun pada prinsipnya hampir mirip namun ada salah satu contoh yang berbeda dalam penggunaan gelar nazab dan pangkat.

Misalnya seseorang dengan garis keturunan I-IV atau I-V yang Memiliki gelar Raden Mas (R.M.), ketika ia menjadi seorang abdi dalem dengan pangkat Bupati (Tumenggung) maka di Kasultanan Yogyakarta pangkatnya tetap Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) sementara di Kadipaten Pakualaman gelarnya menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung (K.R.M.T.)

Jadi masing masing Kraton/Puro seperti Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman memang memiliki tata cara dan pakem masing-masing yang sudah berjalan turun temurun hingga saat ini.

Kesimpulannya, gelar Raden (R), Raden Bagus (R.B.,R.Bg.), Raden Ayu (R.Ay.), Raden Ajeng (R.A.,R.Aj.), Raden Nganten (R.Ngt.) adalah gelar gelar nazab yang memang hanya bisa didapat dari garis keturunan yang bisa Turun temurun hingga anak cucu.

Sedangkan Jejer, Bekel, Lurah, Mantri, Panewu, Wedono, Tumenggung, dll adalah gelar pangkat Abdi Dalem yang bisa diperoleh karena pengabdian atau penghargaan. Dan gelar pangkat tidak bisa turun temurun.

Bagi mereka yang memang sudah memiliki garis nazab darah dalem maka berhak menggunakan gelar itu baik secara defacto (pengakuan Adat) maupun dejure (pengakuan administratif / piagam).

Bagi yang bukan tedhak turun darah dalem tetap bisa mendapatkan pengakuan gelar dari Kraton/Puro dilingkungan Catur Sagatra Mataram melalui jalur pengabdian sebagai abdi dalem.

Baca Juga  Budidaya Melon Super, Ikhtiar Kemandirian Kampung Kemanusiaan Dunia Gunungkidul Hidupi Anak Anak Yatim

Namun menurut saya, pada era modern saat ini, terlahir dari nazab darah dalem atau tidak bukanlah hal yang utama. Yang paling penting adalah bagaimana kiprah dan peran riil kita dalam nguri uri warisan Leluhur serta menjaga marwah leluhur secara arif dan bijaksana.

Banyak masyarakat pecinta budaya diluar Tedhak Turun Darah Dalem yang justru sangat aktif dan konsisten menjaga budaya dan marwah leluhur secara tulus, Ikhlas sepenuh jiwa raganya tanpa berharap gelar, pangkat dan jabatan apapun.

Memiliki garis tedhak turun Raja/Adipati ataupun tidak tetap memiliki hak dan kwajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.

“Sistem oligarki” yang saat ini masih berlaku di Kraton/Puro dilingkungan Catur Sagatra adalah upaya pelestarian seni, adat dan budaya warisan Leluhur yang adiluhung serta untuk menjaga marwah leluhur. Sehingga siapapun itu baik yang memiliki garis tedhak turun ataupun tidak tetap memiliki kesempatan yang sama dihadapan Tuhan dan sesama manusia.

Semoga bermanfaat untuk menambah khazanah pengetahuan kita bersama.

Salam Budaya..

 

(*) Pendiri Yayasan Pamerti Budaya Catur Sagatra, Pengasuh Padepokan “Ilmu Ikhlas” Naga Emas Nusantara