Satu Dekade Janji Kosong: TPPAS Nambo dan Legoknangka Jadi Simbol Gagalnya Infrastruktur Hijau Jabar

Wapenja.com – Proyek Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo dan Legoknangka kembali disorot publik setelah DPRD Jawa Barat mendesak audit menyeluruh atas keterlambatan dan kemacetan pelaksanaannya. Dua fasilitas yang digadang-gadang sebagai solusi jangka panjang krisis sampah ini justru menjadi potret buram dari tata kelola pembangunan daerah yang minim akuntabilitas.

Sejak dirancang lebih dari satu dekade lalu, TPPAS Nambo di Bogor dan Legoknangka di Cekungan Bandung belum menunjukkan hasil nyata. Infrastruktur terbengkalai, anggaran terus mengalir, dan masyarakat tetap bergelut dengan tumpukan sampah yang kian mengancam kesehatan dan lingkungan.

Dua proyek strategis pengelolaan sampah: TPPAS Lulut Nambo di Bogor Raya dan TPPAS Legoknangka di Cekungan Bandung.

Kedua proyek ini dirancang sebagai solusi jangka panjang atas krisis sampah yang mengancam kawasan metropolitan Jawa Barat. Namun, realisasinya justru menjadi simbol kemacetan birokrasi dan kegagalan tata kelola.

TPPAS Nambo, dijanjikan beroperasi sejak 2017, hingga kini belum menunjukkan progres signifikan. Infrastruktur terbengkalai, dan alokasi anggaran terus mengalir tanpa hasil nyata.

Baca Juga  Polemik Panjang Lahan SMAN 1 Bandung, Pemprov Jabar Akhirnya Menang Banding

TPPAS Legoknangka, yang seharusnya menampung sampah dari Kota Bandung, Cimahi, Sumedang, Garut, dan sekitarnya, juga belum berfungsi optimal. Padahal, wilayah-wilayah ini menghasilkan volume sampah harian yang sangat tinggi.

DPRD menyoroti indikasi pemborosan anggaran, lemahnya pengawasan, dan potensi konflik kepentingan dalam proses tender dan pelaksanaan proyek.

Desakan audit ini muncul di tengah ancaman darurat sampah, yang bukan hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga pada kesehatan publik dan kepercayaan warga terhadap pemerintah daerah.

Baca Juga  Tim Jaipong SMA Telkom Bandung Harumkan Nama Sekolah di Jawa Barat

Desakan audit bukan sekadar soal teknis proyek, melainkan panggilan untuk membongkar akar persoalan: lemahnya koordinasi antar lembaga, kaburnya tanggung jawab eksekutif, dan potensi konflik kepentingan dalam proses tender. DPRD menilai, tanpa transparansi dan sanksi tegas, proyek strategis semacam ini hanya akan menjadi ladang pemborosan dan retorika politik.

Lebih dari itu, mangkraknya TPPAS adalah cermin dari kegagalan visi pembangunan berkelanjutan. Di tengah ancaman darurat sampah, publik berhak tahu: siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana pemerintah menjamin bahwa proyek serupa tak akan kembali gagal.