Respons Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti atas Permintaan Prabowo: Antara Literasi, Kesehatan, dan Keadilan Pendidikan

Foto ilustrasi siswa sedang menulis di kelas.

Wapenja.com – Dalam sidang kabinet paripurna yang menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2025, sebuah isu yang tampak sederhana namun sarat makna mencuat ke permukaan: pelajaran menulis tangan di sekolah. Presiden Prabowo meminta agar mata pelajaran ini dikaji ulang dan dihidupkan kembali, menyusul pengamatannya bahwa banyak siswa menulis dengan huruf sangat kecil demi menghemat kertas. Ia menyebut fenomena ini sebagai “masalah kecil tetapi mendasar” yang berpotensi memengaruhi kesehatan mata anak-anak dan mencerminkan keterbatasan akses terhadap alat tulis.

Permintaan Prabowo:

  • Prabowo menyoroti kebiasaan siswa menulis kecil sebagai bentuk penghematan kertas karena keterbatasan ekonomi.
  • Ia mengaitkan kebiasaan tersebut dengan risiko kesehatan, khususnya rabun jauh akibat membaca tulisan yang terlalu kecil.
  • Presiden meminta agar pelajaran menulis tangan dikaji ulang, dengan penekanan pada tulisan yang besar dan jelas.
  • Ia juga menginstruksikan agar buku tulis dibagikan secara gratis kepada siswa, sebagai bentuk intervensi negara terhadap kesenjangan akses pendidikan.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyambut baik arahan tersebut, namun menegaskan bahwa belum ada pembahasan teknis karena instruksi baru diterima dua hari sebelumnya.

Baca Juga  Sri Mulyani Akhirnya Revisi Anggaran Kesejahteraan Guru dari Rp.179 Triliun ke Rp. 275 Triliun

Ia menyatakan bahwa pembiasaan menulis bisa diterapkan melalui berbagai aktivitas belajar, tanpa harus menjadi mata pelajaran tersendiri.

“Teknisnya nanti bagaimana, tentu tidak harus pelajaran menulis, tetapi dibiasakan mereka menulis,” ujar Mu’ti, menekankan pendekatan fleksibel dan integratif dalam kurikulum.

Permintaan Prabowo membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang literasi dasar, keadilan pendidikan, dan peran negara dalam menjamin hak-hak anak untuk belajar secara layak. Di balik kekhawatiran tentang ukuran huruf, tersimpan kritik terhadap sistem yang membiarkan anak-anak beradaptasi dengan keterbatasan secara diam-diam—menulis kecil bukan karena pilihan pedagogis, tetapi karena tekanan ekonomi.

Baca Juga  MK Ketuk Palu, Wamen di Larang Rangkap Jabatan

Isu ini juga menyentuh dimensi kesehatan publik, di mana kebiasaan menulis dan membaca yang tidak ergonomis bisa berdampak jangka panjang. Lebih jauh, kebijakan pembagian buku tulis gratis bukan hanya solusi praktis, tetapi simbol komitmen negara terhadap pendidikan yang inklusif dan bermartabat.