Menkeu Purbaya Tegas Tolak Beban Utang Kereta Cepat Ditanggung APBN

??????????

Wapenja.com – Dalam sebuah pernyataan yang mengguncang lanskap fiskal dan memantik diskusi publik, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak mentah-mentah usulan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ikut menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Proyek ini dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang berada di bawah naungan holding BUMN baru bernama Danantara.

Usulan agar APBN ikut menanggung utang KCJB disampaikan oleh Danantara, entitas yang kini mengonsolidasikan seluruh BUMN strategis.

Purbaya menegaskan bahwa KCIC memiliki struktur manajemen dan sumber pendanaan mandiri, termasuk dividen BUMN yang kini langsung masuk ke Danantara, bukan lagi ke kas negara melalui PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

Pernyataan tajam Purbaya, “Jangan kalau enak swasta, kalau enggak enak government,” mencerminkan penolakan terhadap pola subsidi silang yang tidak transparan dan berpotensi membebani fiskal negara.

Baca Juga  Tragedi Tambang Bogor: 195 Korban Jiwa, Gubernur Dedi Mulyadi Guncang Status Quo Industri Ekstraktif

Ia mengungkap bahwa dividen BUMN yang masuk ke Danantara mencapai Rp80 triliun per tahun—jumlah yang dinilai cukup untuk menutup pembiayaan proyek tanpa perlu intervensi APBN.

Penolakan ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran publik terhadap beban utang proyek infrastruktur besar yang kerap kali tidak memberikan imbal hasil fiskal langsung. KCJB, yang sempat digadang-gadang sebagai simbol kemajuan transportasi nasional, kini menghadapi tantangan pembiayaan dan efisiensi operasional. Dengan menolak keterlibatan APBN, Purbaya secara implisit mendorong agar BUMN dan entitas seperti Danantara bertanggung jawab penuh atas risiko finansial proyek yang mereka kelola.

Baca Juga  Resmi Menjabat Sebagai Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi Fokus Komitmen Pada Infrastruktur dan Realokasi Anggaran

Langkah Purbaya dapat dibaca sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah ingin memperkuat disiplin fiskal dan menegakkan batas antara kepentingan korporasi dan tanggung jawab negara. Ini juga membuka ruang bagi evaluasi ulang terhadap model pembiayaan proyek strategis nasional, terutama yang melibatkan kerja sama internasional dan utang luar negeri.

Penolakan ini bukan sekadar keputusan teknokratis, melainkan pernyataan politik fiskal yang berani. Di tengah sorotan terhadap transparansi belanja negara dan efektivitas proyek infrastruktur, sikap Purbaya bisa menjadi titik balik dalam reformasi tata kelola BUMN. Ia menantang narasi lama bahwa negara harus selalu menjadi penyangga terakhir ketika korporasi gagal mengelola risiko.