Mengenang 15 Tahun Gugurnya Pahlawan Penjaga Gunung Merapi

Oleh: R.Budi Ariyanto Surantono (Ki Ariyo Wiro Sentono Al Djawi) – (*)

—————————-

Mbah Maridjan, adalah panggilan akrab Mas Ngabehi (M.Ng.) Surakso Hargo. Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertugas sebagai “Penjaga” (Juru Kunci) Gunung Merapi sejak era Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Sejak muda, aktif membantu ayahnya yang juga Abdi Dalem Juru Kunci Gunung Merapi. Sebagai  Juru Kunci, Mbah Maridjan memiliki tugas  spiritual menjadi “penghubung Batin” antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan “Kraton Merapi”.

Secara faktual, tugasnya menjaga kelestarian alam Gunung Merapi melalui ritual ritual adat dan kearifan lokal yang paaberjalan turun temurun selama ratusan tahun.

Ritual Labuhan Gunung Merapi oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu tugas utama Mbah Maridjan selalu Abdi Dalem Juru Kunci dimana Setahun sekali Kraton memberikan “sedekah” kepada alam semesta dan mendoakan agar terus keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam (Gunung Merapi)  selalu terjaga.

Sejak ratusan tahun, Labuhan Gunung Merapi selalu dipimpin Abdi Dalem Juru Kunci dibantu Abdi Dalem lainnya yang bertugas di Gunung Merapi. Atas amanah kraton, bertahun-tahun Mbah Maridjan memimpin ritual yang di laksanakan  di “Bale Labuhan Dalem” lereng Merapi.

Rituan Labuhan selalu dirangkai dengan tawasul kepada semua leluhur, dzikir dan Tahlil hingga doa khusus yang dilanjutkan kehadirat  kepada Allah SWT untuk memohon keselamatan rakyat Yogyakarta dari segala bencana dan marabahaya dilanjutkan  “sedekah alam” berupa “ubo rampe” makanan dan barang dari Kraton yang “dibagikan” kepada masyarakat yang mengikuti prosesi Labuhan Gunung Merapi.

Bagi saya pribadi, Mbah Maridjan adalah sosok Bapak, Guru sekaligus  sahabat terbaik yang saya kenal sejak tahun 1989. Pada saat itu masyarakat umum masih jarang yang mengenalnya,  karena beliau tinggal di dusun terpencil berjarak 2-3 km dari Puncak Gunung Merapi.

Dusun Kinah Redjo adalah Dusun Tertinggi di lereng Gunung Merapi yang waktu itu masih terisolir’ karena sulitnya akses jalan menuju kesana. Untuk bisa sampai ke Dusun Kinah Redjo harus berjalan kaki mendaki hutan wisata Kaliurang atau melalui akses utama dari Pasar Pakem Sleman, yang saat itu  masih jalan makadam berbatu yang hanya bisa dilalui truk, jeep atau motor trail.

Selama puluhan tahun, Dusun Kinah Redjo menjadi kawasan yang sangat eksotik, terlebih pada saat-saat fase erupsi (letusan) Gunung Merapi terjadi.  Hanya para pendaki Gunung yang kala itu mampu mengunjungi Kinah Redjo dan bisa menyaksikan erupsi Merapi dari jarak sangat dekat.

Gunun Merapi adalah gunung paling api  aktif di dunia dengan periode letusan pendek tiap 2-7 tahun sekali. Sehingga dengan periode yang pendek itu warga Kinah Redjo menjadi  hapal “tabiat dan perilaku” Gunung Merapi dan memiliki kearifan lokal tersendiri dalam mensikapinya.

Qodarullah, atas kehendak Allah Swt, 25 Oktober 2010, kejadian anomali terjadi. Dusun Kinah Redjo yang selama puluhan tahun  “aman” dari bahaya Merapi diterjang ” Wedhus Gembel” atau awan. Awan panas muncul akibat guguran lava pijar dan runtuhnya kubah lava di Puncak Merapi yang menimbulkan kepulan asap panas dan tekanan gas Tinggi  dengan suhu lebih dari 800 derajat celcius.

Selama puluhan tahun, kendati letaknya sangat dekat dengan Puncak Merapi. Dusun Kinah Redjo selalu aman dari terjangan awanz panas, bahkan ketika daerah  lain yang jaraknya lebih jauh dari Puncak Merapi terkena awan panas, Dusun Kinah Redjo tetap aman aman dan tidak tersentuh sama sekali.

Nanim 25 Oktober 2010 atau  15 Tahun  yang lalu,  sejarah baru terjadi dimana Dusun Kinah Redjo terkena awan panas yang mengakibatkan ratusan rumah hancur, ratusan ternak terbakar dan puluhan jiwa menjadi korban, termasuk gugurnya sang Abdi Dalem Juru Kunci setia Mbah Maridjan.

Baca Juga  SMK Kesehatan Bakti Kencana Cimahi Menggelar Maulid Nabi SAW 1445 H

Gugurnya Mbah Maridjan banyak dimaknai positif oleh mereka yang mengenal dekat dengan beliau. Namun banyak juga  yang salah paham karena tidak memahami sikapnya  yang tetap bertahan di Dusun Kinah Redjo saat erupsi besar Merapi tahun 2010 terjadi.

“Aku iki ditugasi Ngarso Dalem njogo Merapi. Nek aku melu ngungsi mengko digeguyu pitik” (saya ini mendapat tugas dari Sultan Untuk Berjaga di Gunung Merapi, kalau saya ikut mengungsi nanti diketawain ayam)

ungkap Mbah Maridjan ketika banyak pihak memintanya  mengungsi sebelum erupsi besar Merapi terjadi.

Dibalik sikap tegasnya, Mbak Maridjan dengan bijak  juga selalu meminta dan menghimbau warga termasuk keluarganya sendiri (anak dan istrinya) untuk mengikuti arahan pemerintah mengungsi walaupun beliau sendiri tetap bersikukuh menjalankan amanah menjaga Merapi.

Kono podo manuto Pemerintah ngungsi, aku tetep neng kene lakoni tugas kwajibanku” (sana pada menurut pemerintah untuk mengungsi, saya tetap disini menjalankan tugas dan kwajiban saya)

Mbah Maridjan sendiri berkali kali melalui wawancara di media cetak dan elektronik menyatakan sangat menghormati dan menghargai upaya pemerintah menyelamatkan masyarakat dan warganya dari bencana Merapi dan bahkan menyampaikan terimakasih secara langsung dan terbuka kepada presiden, Sultan dan jajaran pemerintah pusat maupun  daerah yang sangat peduli dengan warga Yogyakarta.

Mbah Maridjan adalah sosok panutan yang sangat setia dan tulus dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Beliau selalu ingin mengabdikan dirinya dengan totalitas walaupun nyawa menjadi taruhannya.

Kalimat Nek aku Melu Ngungsi Mengko Digeguyu Pitik (kalau saya ikut mengungsi nanti diketawain ayam) sama sekali bukan kalimat kesombongan atau sifat gengsi. Namun Semangat dan tekad baja bermakna  “Siap Menjalankan Tugas Sampai Mati”.

Ibarat pasukan perang, beliau berprinsip seorang pemimpin harus siap berdiri di garda terdepan  dan  harus siap menjadi orang yang mati terakhir jika harus gugur dalam bertugas. Sikap Mbah Maridjan yang tidak mau mengungsi kala itu juga bukan sikap arogan menentang pemerintah, namun sebagai bentuk tanggungjawab dan  kesetiaan dalam menjalankan amanah apapun resikonya.

Mbah Maridjan adalah sosok  jujur, sederhana dan apa adanya. Sejak belum dikenal (era tahun 80 an) hingga menjadi tokoh yang sangat terkenal di tahun  ditahun 2000 an) sikap Mbah Maridjan tidak pernah berubah. Tetap santun, rendah hati, ramah namun tegas dalam memegang prinsip dan amanah.

Nilai nilai luhur bisa kita petik dari sosok Mbah Maridjan:

Setia pada Tugas & Amanah

Beliau selalu setia menjalankan tugas dan amanah sebagai “Penjaga Gunung Merapi”, tugasnya menjaga keselarasan alam. Menjaga  hubungan spiritual manusia  dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta (Gunung Merapi).

Tugas utamanya adalah mendoakan agar  Gunung Merapi bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan menjauhkan masyarakat dari bencana yang mungkin ditimbulkannya. Wafat beliau didalam “sentong” (tempat sehari-hari istirahat dan laku spiritual)  dalam posisi sujud saya yakini  pada detik detik terakhir itu beliau sedang berjuang menjalankan tugasnya berdoa kepada Allah Swt.

Berani dan Tegas

Dibalik sikapnya yang lembut, tersimpan keberanian dan ketegasan  luar biasa, beliau tidak takut menjalani tugas dengan resiko  sangat tinggi. Konon dahulu, setiap Merapi memasuki masa erupsi, Mbah Maridjan berikhtiar spiritual khusus mendaki lereng Merapi dan berdoa khusus disana, memohon Perlindungan dan pertolongan Allah agar masyarakat Yogyakarta aman. Itu beliau lakukan dilokasi yang sangat dekat dengan puncak Merapi yang secara logika sangat berbahaya.

Beliau juga sangat tegas memegang prinsip tidak mau “Tinggal Glandang, Colong Playu” (tidak takut dan  melarikan diri dari tugas dan tanggungjawabnya)

Baca Juga  Siswa-siswi SMA Pasundan 1 Bandung Beri Kejutan untuk Para Guru di Momen Hari Guru Nasional

Rendah Hati & Ramah

Sikap Mbah Maridjan sejak  saya kenal di era tahun 80 an hingga akhir hayat tidak berubah. Tetap rendah hati dan ramah. Banyak orang (khususnya orang orang Pelaku spiritual) menganggapnya sebagai “Orang Sakti”, tapi beliau selalu bilang:

” Nyuwun Ngapunten, Panjenengan niku klentu menawi nganggep kulo wong pinter, kulo niku namung wong bodo sing isone namung Shalat(Mohon Maaf, Anda keliru Kalau Menganggap Saya Orang Pinter / Orang Sakti, saya itu hanya orang bodoh dan biasanya hanya shalat)

Kalimat itu yang selalu diucapkan Mbah Maridjan kepada  siapapun yang berusaha  “mengorek”  hal hal spiritual dan hal hal ghoib. Mbah Maridjan tidak pernah mau berbicara dan membahas hal hal ghoib  dan membahas  soal kemampuan spiritual dan “kesaktian” nya kendati diluar sana banyak yang mengakui kemampuannya.

Kalimat “Aku Isone Mung Shalat ” (saya biasanya hanya shalat) memiliki makna dalam,  bahwa setiap manusia hanya bisa memohon kepada Allah Swt, sedangkan apapun yang terjadi didunia ini sudah kehendak Allah Swt (termasuk bencana erupsi tahun 2010 lalu). Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi jika Allah Swt sudah berkehendak.

Soal keramahan. Sejak tahun 80 an Mbah Maridjan adalah sosok yang ramah dan suka bercanda, khususnya dengan para Pendaki Gunung yang biasa sowan sebelum memulai pendakian. Kepada para pendaki beliau sangat ramah dan penuh kebapakan  mendoakan  agar selamat dan juga memberikan nasehat nasehat agar  selalu menjaga ucapan, tingkah laku dan hindari pembuatan tercela selama pendakian termasuk larangan untuk merusak akan.

Di era tahun 2000 an ketika sudah menjadi tokoh terkenal beliau tetap ramah kepada semua orang baik orang biasa maupun para pejabat atau tokoh penting yang menemuinya.

Jiwa Sosial Yang Tinggi

Beberapa kali erupsi Merapi di tahun 2000 an melambungkan nama Mbah Maridjan dari tokoh lokal menjadi “tokoh Nasional”. Hampir setiap hari sosok sederhana ini muncul di layar televisi  endoresement produk minuman kesehatan dengan jargon “Rosa…Rosa…”. Pundi-pundi uang pun mengalir deras dan namanya makin tenar bak selebritis. Namun Mbah Maridjan tetap sebagai sosok yang sederhana, ramah dan santun. Tetap mencangkul di Ladang, tetap shalat 5 waktu di masjid dekat rumahnya dan tetap laku spiritual di sentong rumahnya.

Bahkan ketika saya pribadi menikah di akhir tahun 2002, Mbah Maridjan tetap  berkenan datang kerumah sekedar memberikan doa restu, padahal saat itu sedang dalam kondisi kurang sehat.

Aku wis janji nyaguhi teko” (saya sudah janji sanggup datang), jawab Mbah Maridjan ketika saya nanya sedang sakit kok tetap kerumah.

Hal yang sama juga disampaikan simbok (Mbah Maridjan Putri) yang sempat melarang Mbah Maridjan  kerumah saya di Bantul karena sedang tidak enak badan, tapi Mbah Maridjan tetap bersikeras memenuhi janjinya datang kerumah saya. “Ora popo, aku wis janji nek saguh teko, Mengko nak yo mari ” (nggak apa-apa, saya sudah janji mau datang. Nanti juga sembuh“) ,kata simbok menirukan ucapan Mbah Maridjan kala itu.

Selain Kepedulian dengan orang lain, Mbah Maridjan juga sangat peduli dengan alam dan lingkungan disekitarnya. Jalan lingkungan dan infrasturktur  di Dusun Kinah Redjo menjadi bagus  atas kerelaan Mbah Maridjan menyisihkan sebagian pendapatannya sebagai “Bintang Iklan” untuk lingkungannya.

Tekun Beribadah & Mengajak Kebaikan Tanpa Memaksa 

Mbah Maridjan adalah sosok yang sangat tahun dan tekun Beribadah. Shalat 5 waktu selalu dijalankan di masjid yang berada di dekat rumahnya.

Setiap terdengar adzan dari Masjid. Beliau buru buru menuju ke masjid tanpa mengulur-ulur waktu. Jika pada saat adzan berkumandang dan beliau sedang menemui tamu dengan sangat sopan beliau mengucap:

“Nyuwun Pangapunten, kulo bade shalat rumiyin. Monggo menawi bade sareng. Nopo bade nenggo”, (mohon maaf, saya mau shalat dulu, silakan kalau mau sama-sama atau mau menunggu)

Ucap Mbah Maridjan kepada siapa saja yang sedang menemuinya baik itu orang biasa maupun pejabat atau tokoh masyarakat. Usai shalat, beliau segera kembali kerumah menemui tamunya apabila masih ada yang menunggu.

Baca Juga  Hunian Murah Impian Rakyat? Pemerintah Gelontorkan Dana Fantastis!

Berkorban Demi Kemakmuran Masyarakat 

Sebelum “tragedi” erupsi Merapi 2010, Kinah Redjo dan sekitarnya adalah daerah tertinggal. Masyarakatnya hanya hidup dari aktivitas diladang, beternak dan menggali pasir disungai. Dusun Kinah Redjo selalu lengang dan sepi karena akses jalannya yang masih belum baik saat itu

Namun Berkah jasa Mbah Maridjan, nama Kinah Redjo dan kawasan disekitarnya menjadi sangat terkenal  bahkan sampai keluar Negeri. Banyak wisatawan datang kesana. Ekonomi warga bertumbuh pesat. Bahkan Pasca wafatnya Mbah Maridjan. Desa sesa sekitar Kinah Redjo menjadi daerah tujuan wisata yang makmur.

Warga memiliki lapangan usaha baru membuka warung makan, penginapan dan usaha jasa wisata jeep “Lava Tour” Merapi. Daerah yang tadinya terisolir’ dan sepi. Menjadi kawasan ekonomi kreatif yang meningkatkan ekonomi masyarakat.

Namun dibalik hiruk pikuk kemajuan wisata Merapi di sekitar Kinah Redjo, kunu mulai banyak generasi penerus yang mulai “lupa” dengan Mbah Maridjan. Sosok pahlawan yang sudah membuat kawasan Kinah Redjo dan sekitarnya menjadi makmur.

Bahkan anak anak dan remaja disana bahkan sudah tidak mengenal lagi nama Mbah Maridjan. Hal ini yang membuat saya pribadi merasa prihatin. Terlebih suatu hari saya yang memang sudah beberapa tahun tidak silaturahmi ke Mas Asih (Putra Mbah Maridjan yang saat ini melanjutkan tugas sebagai Juru Kunci Merapi) mencari kediaman beliau di Huntap (Hunian Tetap) yang dihuni warga warga korban erupsi Merapi 2010.

Karena lupa jalannya, saya pun beberapa kali bertanya dan kebetulan yang saya jumpai anak anak dan remaja usia 6-17 tahun. Ketika saya bertanya tempat Mbah Maridjan (saat ini simbok /Mbah Maridjan putri belum wafat) ternyata anak anak dan remaja itu tidak tau.

Saya heran apakah mereka benar benar tidak pernah mendengar cerita tentang Mbah Maridjan dari orang tuanya?. Dan apakah bahkan orang tuanya sendiri sudah melupakan Mbah Maridjan yang sudah berjalan dalam kehidupan mereka saat ini. Semoga saja tidak.

Saat ini Mbah Maridjan sudah tenang dan disemayankan di Dusun Srunen yang sepi bersama Simbok (Mbah Maridjan Putri) yang wafat beberapa waktu lalu. Makam Mbah Maridjan tetap sederhana, seperti sosok beliau yang selalu sederhana dan bersahaja sepanjang hidupnya.

Semoga Allah Swt menerima segala Amal baik  Bapak (Mbah Maridjan) dan Simbok yang sudah berjuang memenuhi amanah, tugas, kwajiban dan tanggungjawabnya sampai akhir hayat.  Alfatehah..

 

(*) Penulis adalah Pendiri Yayasan Pamerti Budaya Catur Sagatra, Pengasuh Padepokan Ilmu Ikhlas Naga Emas Nusantara, “Anak Ideologis” Mbah Maridjan