Wapenja.com/Jakarta – Di tengah malam yang sunyi di Jalan Kertanegara, bukan suara kereta cepat yang menggema, melainkan ketegangan politik yang tak kalah deras. Presiden Prabowo Subianto memanggil para menterinya untuk rapat mendadak kediaman Presiden Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara, Jakarta, Minggu (12/10/2025) malam. Bukan karena darurat nasional, melainkan karena satu kata yang kini menghantui kabinet, yaitu “utang”.
Proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang dulu dielu-elukan sebagai lompatan teknologi dan simbol kemajuan, kini berubah menjadi beban fiskal senilai Rp116 triliun. Di tengah sorotan publik, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berdiri tegak: menolak penggunaan APBN untuk menutup utang proyek tersebut. “Uang rakyat bukan penyangga risiko bisnis,” tegasnya, memicu gelombang perdebatan di ruang kekuasaan.
Namun, bukan hanya angka yang dipertaruhkan. Integritas kebijakan, transparansi fiskal, dan arah pembangunan nasional ikut terguncang. Di satu sisi, ada ambisi untuk menjaga citra pembangunan strategis. Di sisi lain, ada prinsip bahwa negara tak boleh tunduk pada tekanan korporasi atau proyek yang gagal mengelola risiko.
Rapat tengah malam itu bukan sekadar koordinasi teknis. Ia adalah simbol bahwa negara sedang mencari arah: apakah akan tunduk pada logika pembangunan instan, atau berani menata ulang prioritas fiskal demi keberlanjutan?












