Dedi Mulyadi Minta Warga Donasi Harian: Gotong Royong atau Gotong Duit?

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat membuka acara Serasi, Semarak Vokasi, Semangat 4 Aksi” di Gedung Sabuga, Kota Bandung, Kamis (2/10/2025).

Wapenja.com – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tengah menghadapi badai kritik setelah meluncurkan Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), sebuah program yang mengimbau warga Jawa Barat menyisihkan Rp1.000 per hari untuk membantu masyarakat kurang mampu. Meski diklaim sebagai gerakan sosial sukarela berbasis gotong royong, kebijakan ini justru memicu pertanyaan tajam: “Kalau dikorupsi bagaimana?”

Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA yang diteken Dedi Mulyadi pada 1 Oktober 2025 menginstruksikan seluruh jajaran pemerintahan daerah, ASN, lembaga pendidikan, hingga masyarakat umum untuk berpartisipasi dalam gerakan donasi harian. Dana yang terkumpul akan disalurkan melalui rekening khusus Bank BJB dan digunakan untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan warga miskin—mulai dari biaya seragam, buku, hingga pengobatan bagi mereka yang tak memiliki BPJS.

Dedi menyebut gerakan ini sebagai bentuk solidaritas sosial yang menghidupkan kembali semangat rereongan atau gotong royong khas masyarakat Sunda. Ia bahkan menganjurkan warga menabung di kotak kecil di depan rumah, mirip tradisi jimpitan masa lalu.

Baca Juga  Bupati Bogor Rudy Susmanto Tinjau Korban Ambruknya Majelis Taklim Assohibiyah

Namun, Ketua DPC Peradi Karawang, Asep Agustian, menilai kebijakan ini cacat hukum. Ia menyebut tidak ada dasar regulasi yang jelas di atasnya, sehingga rentan terhadap penyalahgunaan. “Surat edaran ini bisa membuka peluang korupsi baru. Jangan sampai budaya gotong royong dijadikan alat pungli terselubung,” tegasnya.

Ia juga menyoroti potensi tekanan sosial yang muncul akibat koordinasi RT/RW, yang bisa membuat donasi sukarela terasa seperti kewajiban. “Kalau sudah dikoordinir, apalagi lewat sekolah dan instansi, itu bukan lagi sukarela,” tambahnya.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi dingin. Ia menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak mewajibkan donasi tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah dan warganya. “Silakan saja kalau mau,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse, meminta Dedi mengkaji ulang kebijakan ini. Ia menilai pemerintah daerah seharusnya memaksimalkan sumber pendapatan resmi seperti pajak dan hibah, bukan mengandalkan donasi publik. “Presiden saja mengakui banyak kebocoran anggaran. Lebih baik perbaiki tata kelola dulu,” katanya.

Baca Juga  Bupati Garut Secara Simbolis Resmikan Nama Jalan Baru

Di media sosial, kebijakan ini menjadi bahan sindiran. Seorang warga dalam video viral menyebut Dedi “kelaperan” dan menuduh program ini sebagai kedok korupsi. Di lapangan, warga seperti Imam Maftuh di Bandung menyatakan dukungan dengan syarat transparansi dijaga. Namun, warga lain seperti Hamzah menilai program ini menambah beban ekonomi di tengah situasi yang belum pulih.

Di Kabupaten Cianjur, kebijakan ini mulai dijalankan. Bupati Mohammad Wahyu Ferdian menyatakan dukungan, namun warga seperti Gia Gusniar mempertanyakan pengawasan dana. “Kalau 2,6 juta penduduk menyumbang, itu Rp2,6 miliar per hari. Tanpa audit, bisa jadi ladang korupsi,” ujarnya.

Dengan potensi dana miliaran rupiah per hari, pertanyaan soal audit, transparansi, dan akuntabilitas menjadi krusial. Tanpa mekanisme pengawasan publik yang ketat, gerakan ini bisa menjadi celah baru bagi praktik korupsi, apalagi di tengah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi.

Baca Juga  Kapolsek Ciawi Bersama TNI Dan Instansi Terkait Hadiri Peringatan Hari Anti Narkotika Internasional Tahun 2024

Gerakan Poe Ibu mungkin lahir dari niat baik, tetapi niat saja tidak cukup. Ketika solidaritas sosial dikemas dalam instrumen resmi tanpa landasan hukum yang kokoh dan pengawasan publik yang transparan, maka risiko manipulasi dan korupsi tak bisa diabaikan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi, pertanyaan “Kalau dikorupsi bagaimana?” bukan sekadar retorika—melainkan refleksi dari trauma kolektif masyarakat terhadap birokrasi yang sering gagal menjaga amanah.