Wapenja.com/Kota Bandung – Dinas Pendidikan Kota Bandung melakukan pemangkasan anggaran sebesar Rp150 miliar, menyusul defisit dana transfer dari pemerintah pusat yang mencapai Rp600 miliar. Langkah ini diklaim sebagai bentuk efisiensi, dengan fokus pada penundaan kegiatan nonprioritas seperti rapat di hotel, konsumsi, dan perjalanan dinas. Bahkan, penghematan menyentuh aspek operasional sekolah seperti pembatasan penggunaan listrik, air, dan pendingin ruangan.
Namun, efisiensi bukan sekadar soal angka. Ia menyentuh jantung tata kelola pendidikan: bagaimana prioritas ditentukan, siapa yang menetapkan batas antara kebutuhan dan kemewahan, dan sejauh mana publik dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan?
“Program prioritas tetap berjalan,” ujar Kepala Disdik Asep Saeful Gufron. Tapi pernyataan ini menyisakan ruang tafsir: apakah prioritas itu mencakup peningkatan kualitas guru, perbaikan infrastruktur sekolah, atau sekadar mempertahankan layanan minimum?
Di tengah tekanan fiskal, efisiensi bisa menjadi pintu masuk reformasi. Tapi jika dilakukan secara teknokratis dan tertutup, ia berisiko memperdalam jurang ketimpangan dan mengaburkan tanggung jawab publik. Apalagi, pendidikan bukan sekadar layanan administratif—ia adalah fondasi pembangunan manusia.
Langkah Disdik Bandung patut diapresiasi sebagai bentuk adaptasi. Namun, transparansi anggaran, partisipasi masyarakat, dan evaluasi dampak harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses ini. Tanpa itu, efisiensi bisa berubah menjadi eufemisme dari pemangkasan hak warga.