Wapenja.com/Bandung – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali mengguncang birokrasi dengan kebijakan kontroversial namun tegas, yaitu memecat 20 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dinilai malas dan tidak produktif, serta berencana mempublikasikan identitas mereka secara terbuka di media sosial mulai 1 November 2025.
Langkah ini diumumkan dalam forum tahunan “Abdi Nagri Menyulam Hari Tahun 2025” yang digelar di Gedung Sabuga, Kota Bandung. Di hadapan ribuan ASN dan pejabat daerah, Dedi menyampaikan bahwa setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) wajib menyerahkan data pegawai dengan tingkat kehadiran dan kinerja terendah setiap bulan. Data tersebut akan mencakup nama, foto, dan alamat pegawai, yang kemudian akan dipajang di akun media sosial resmi milik gubernur, termasuk TikTok, YouTube, dan Instagram.
“Saya akan unggah nama-nama ASN yang malas di media sosial saya. Biar publik tahu siapa yang tidak bekerja tapi tetap digaji,” ujar Dedi dengan nada tegas.
Latar Belakang dan Tujuan Kebijakan
Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan blak-blakan dan populis, menyatakan bahwa ASN adalah pelayan publik yang digaji dari uang rakyat. Oleh karena itu, mereka wajib menunjukkan kinerja yang nyata dan berdampak. Ia menilai bahwa selama ini terlalu banyak ASN yang berlindung di balik sistem birokrasi tanpa memberikan kontribusi berarti.
“Kalau digaji tapi tidak ada produk, ngapain? Ini bukan tempat untuk duduk-duduk saja,” tambahnya.
Kebijakan ini juga menjadi bagian dari strategi efisiensi birokrasi. Pemprov Jabar berencana menyalurkan sebagian ASN ke sekolah-sekolah untuk membantu tugas administrasi, mengingat tidak semua pegawai dibutuhkan tetap berada di kantor OPD.
Sorotan Kebijakan:
- 20 ASN telah resmi diberhentikan karena malas dan tidak disiplin.
- Nama, foto, dan alamat ASN berkinerja buruk akan dipublikasikan di media sosial mulai November.
- Setiap OPD wajib menyerahkan data pegawai dengan kehadiran dan kinerja terendah setiap bulan.
- Tujuan: meningkatkan disiplin, transparansi, dan kualitas pelayanan publik.
Reaksi Publik dan Etika Kebijakan
Kebijakan ini langsung memicu perdebatan di ruang publik. Sebagian masyarakat mendukung langkah Dedi sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi, terutama di tengah sorotan terhadap kinerja birokrasi yang lamban dan tidak responsif. Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan etika publikasi identitas pegawai secara terbuka, mengingat potensi pelanggaran privasi dan dampak psikologis bagi mereka yang terkena sanksi.
Meski demikian, Dedi tetap pada pendiriannya. Ia menyebut bahwa keterbukaan adalah bagian dari reformasi birokrasi yang harus dijalankan secara konsisten.
“Saya tidak akan kompromi dengan kemalasan. Ini era baru, ASN harus siap dinilai publik,” pungkasnya.












