Jam Mengajar Tak Diakui, Guru Sertifikasi Terancam Gagal Cairkan TPG?

Poto ilustrasi seorang guru mengajar di kelas.

Wapenja.com – Perubahan kebijakan terkait jam mengajar dan validasi Tunjangan Profesi Guru (TPG) triwulan ketiga (TW3) tahun 2025 telah memicu kebingungan administratif, tekanan psikologis, dan potensi ketimpangan kesejahteraan di lapangan.

Inti Masalah yang Mengemuka

  • Jam Mengajar di Sekolah Non-Induk Tidak Diakui
    Dalam Permendikdasmen Nomor 4 Tahun 2025, jam tatap muka (JTM) yang dilakukan di sekolah non-induk tidak lagi dihitung sebagai bagian dari beban kerja guru sertifikasi. Ini berarti banyak guru yang selama ini mengajar di dua atau lebih sekolah kehilangan pengakuan atas sebagian besar jam kerja mereka. Dampaknya langsung terasa: mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat pencairan TPG, meskipun secara faktual tetap menjalankan tugas pendidikan.
  • Validasi Sistem Info GTK Makin Rumit dan Tidak Ramah Pengguna
    Sistem Info GTK kini menerapkan login dua langkah dan validasi data Dapodik yang lebih ketat. Banyak guru melaporkan kesulitan mengakses sistem, ketidaksesuaian data, dan lambatnya proses sinkronisasi. Bagi guru di daerah dengan keterbatasan akses digital, ini menjadi hambatan serius yang berujung pada keterlambatan pencairan dana.
  • Pencairan TPG TW3 Terhambat di Banyak Wilayah
    Akibat kompleksitas baru ini, pencairan TPG TW3 tertunda di berbagai daerah. Guru ASN daerah yang mengandalkan dana sertifikasi sebagai bagian dari penghasilan bulanan kini menghadapi ketidakpastian finansial. Beberapa daerah bahkan belum memulai proses penyaluran karena validasi belum rampung.

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah sistem birokrasi pendidikan benar-benar memahami realitas kerja guru di lapangan? Ketika jam kerja nyata tidak diakui hanya karena lokasi sekolah, maka sistem telah gagal menangkap esensi profesi guru sebagai pelayan pendidikan lintas batas.

Validasi berbasis sistem digital seharusnya mempermudah, bukan memperumit. Ketika sistem Info GTK justru menjadi penghalang, maka transformasi digital pendidikan perlu dievaluasi ulang. Apakah sistem ini inklusif? Apakah ia mampu melayani guru di pelosok dengan keterbatasan akses?

Komunitas guru mulai menyuarakan keresahan mereka melalui media sosial, forum pendidikan, dan organisasi profesi. Jika keresahan ini terus meluas, bukan tidak mungkin akan muncul tekanan politik terhadap Kemendikdasmen untuk merevisi atau memperjelas aturan. Ini bisa menjadi momentum advokasi besar-besaran dari akar rumput.