Wapenja.com/Jakarta – Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (30/9) Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap data mengejutkan yang selama ini tersembunyi di balik angka subsidi energi nasional. Untuk pertama kalinya, pemerintah secara terbuka merinci harga keekonomian sejumlah komoditas vital yang selama ini dijual jauh di bawah nilai pasar.
Fakta Subsidi: Angka yang Mengguncang
- LPG 3 kg: Harga keekonomian Rp 42.750 → Harga jual Rp 12.750 → Subsidi Rp 30.000/tabung (70%)
- Pertalite: Harga keekonomian Rp 11.700/liter → Harga jual Rp 10.000 → Subsidi Rp 1.700/liter (15%)
- Solar: Harga keekonomian Rp 11.950/liter → Harga jual Rp 6.800 → Subsidi Rp 5.150/liter (43%)
- Minyak tanah: Harga keekonomian Rp 11.150/liter → Harga jual Rp 2.500 → Subsidi Rp 8.650/liter (78%)
- Listrik 900 VA: Harga keekonomian Rp 1.800/kWh → Harga jual Rp 600 → Subsidi Rp 1.200/kWh (67%)
- Pupuk NPK: Harga keekonomian Rp 10.791/kg → Harga jual Rp 2.300 → Subsidi Rp 8.491/kg (78%)
Subsidi Pertalite sendiri menyedot anggaran sebesar Rp 56,1 triliun pada tahun 2024, dinikmati oleh lebih dari 157 juta kendaraan, mayoritas di antaranya kendaraan pribadi.
Di Balik Angka: Siapa yang Diuntungkan?
Meski subsidi ini disebut sebagai bentuk keberpihakan fiskal untuk menjaga daya beli masyarakat, sejumlah ekonom dan anggota DPR mempertanyakan efektivitas dan ketepatan sasaran. Pasalnya, subsidi energi kerap dinikmati lebih besar oleh kelompok menengah ke atas yang memiliki akses terhadap kendaraan pribadi dan konsumsi energi tinggi.
“Subsidi LPG dan Pertalite memang membantu masyarakat, tapi kita harus jujur: sebagian besar justru dinikmati oleh mereka yang tidak masuk kategori miskin,” ujar salah satu anggota Komisi XI.
Tantangan Pemerintah: Reformasi Subsidi atau Risiko Defisit?
Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tengah mengevaluasi skema subsidi agar lebih tepat sasaran dan berkeadilan. Salah satu opsi yang tengah dikaji adalah penggunaan teknologi digital untuk verifikasi penerima subsidi, serta penguatan data terpadu kesejahteraan sosial.
Namun, reformasi subsidi bukan tanpa risiko. Pengurangan subsidi bisa memicu inflasi, protes sosial, dan tekanan politik, terutama menjelang tahun pemilu. Di sisi lain, mempertahankan subsidi besar-besaran berisiko memperlebar defisit anggaran dan mengurangi ruang fiskal untuk sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan.

 
									










