OPINI |
Oleh: R.Budi Ariyanto Surantono (Ki Ariyo Hadinagoro/Abah Ariyo) -(*)
Gundul gundul pacul-cul, gembelengan.
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan.
Wakul ngglimpang. segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar.
Bait syair lagu diatas sangat sederhana namun memiliki makna mendalam.
Siapa tak kenal lagu daerah “Gundul-Gundul Pacul” ini ?
Hampir semua rakyat Indonesia, khususnya yang tinggal di Tanah Jawa hapal dengan lagu yang satu ini.
Lagu yang menggambarkan seorang pemimpin kehilangan kehormatan akibat ulahnya yang sombong, dan semena-mena dengan jabatan yang diembannya.
Pemimpin “mBlegendus sing mikiri wetenge dewe”
“Gundul”, adalah Kepala plontos tanpa rambut, kepala menggambarkan sosok Pemimpin yang sedang memegang amanah, rambut menggambarkan mahkota atau Kehormatan.
Jadi “Gundul” dalam konteks lagu “Gundul-Gundul Pacul” adalah “Sosok Pemimpin Yang Tidak Memiliki Mahkota Kehormatan”.
Seseorang yang tidak memiliki attitude baik dan kapabilitas memadai namun mendapat amanah memegang jabatan tinggi.
“Gembelengan“, bisa diartikan “Nggembelo“, nggaya, sombong, congkak, takabur, suka korupsi memperkaya diri, tidak peduli kesulitan rakyat dan tidak empati dengan penderitaan rakyat yang dipimpinnya.
La, kalau seseorang tidak memiliki attitude baik dan tidak memiliki kapabilitas memadai dijadikan pemimpin (karena memenuhi kepentingan kelompoknya) ya opo tumon rek…apa jadinya ?
Terlebih sosok pemimpin itu kemudian diberi amanah “Nyunggi Wakul” atau Mengemban Tanggung Jawab Membawa Kesejahteraan Rakyat maka tentu saja yang terjadi adalah “Wakul Ngglimpang” gagal total dan “Segone Dadi Sak Latar” (semua menjadi sia-sia tanpa manfaat) dan rakyat yang dipimpinnya menjadi susah tidak sejahtera.
Akibat dari itu maka pemimpin “Gundul-Gundul Pacul” Itu akan kehilangan harkat, martabat dan Kehormatannya. Menjadi terpidana, dipenjara dan kehilangan keluarga serta harta yang dicintainya.
“Pacul” menggambarkan alat kerja atau sumber penghidupan rakyat kecil. Dimana seorang pemimpin diharapkan bisa membawa “pacul” ini untuk kesejahteraan rakyat nya.
“Pacul” memiliki 4 (empat) sisi yang menggambarkan empat hal yang tidak boleh diabaikan dan tidak boleh terlepas dari seorang pemimpin dalam menjalankan tugas dan kwajibannya.
Empat bal yang harus dijaga dan tidak boleh terlepas adalah Mata, Telinga, Hidung dan Mulut.
Pemimpin harus menggunakan Mata untuk melihat kesulitan dan penderitaan rakyat nya.
Telinga harus digunakan untuk mendengar nasehat dan saran untuk kebaikan rakyat
Hidung harus selalu mencium kebaikan kebaikan yang harus dilakukan.
Mulut harus selalu dijaga agar selalu bisa berkata baik, adil dan bijaksana.
Jika ke empat hal tersebut bisa dijaga dengan baik supaya tidak “terlepas”, maka pemimpin tidak akan kehilangan Kehormatannya.
“Pacul” bisa mengandung arti “Papat Sing Ucul”. Jadi seorang pemimpin harus bisa menjaga Mata, Telinga, Hidung dan Mulutnya dengan baik supaya “Ora Ucul”.
Kalau akhir akhir ini kita sering mendengar pemimpin atau pejabat terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK, menjadi terpidana kasus korupsi, terkena kasus asusila, di demo rakyat karena sikap dan tindak tanduknya arogan, barangkali ini akibat dari “Papat Sing Ucul” dan juga karena pemilihan pemimpin yang tidak tepat, yaitu seorang pemimpin yang suka “Gembelengan” dan tidak memiliki kehormatan karena perilakunya yang “Nggilani Ora Nggenah Gawe Susah” (*)
(*) Pengasuh Padepokan Naga Emas Nusantara







