Wapenja.com – Pendapatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali menjadi sorotan publik. Berdasarkan data resmi dan pernyataan dari Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, total penghasilan bulanan anggota DPR kini bisa mencapai lebih dari Rp104 juta, berkat kenaikan sejumlah tunjangan.
Rincian Pendapatan
Meski gaji pokok anggota DPR tidak mengalami kenaikan selama 15 tahun terakhir, berbagai tunjangan mengalami lonjakan signifikan:
| Komponen Pendapatan | Nilai Per Bulan |
| Gaji Pokok | Rp 4.200.000 |
| Tunjangan Jabatan | Rp 9.700.000 |
| Tunjangan Rumah (baru) | Rp 50.000.000 |
| Tunjangan Beras | Rp 12.000.000 |
| Tunjangan Bensin | Rp 7.000.000 |
| Tunjangan Komunikasi Intensif | Rp 15.554.000 |
| Tunjangan Kehormatan | Rp 5.580.000 |
| Tunjangan Pengawasan & Anggaran | Rp 3.750.000 |
| Bantuan Listrik & Telepon | Rp 7.700.000 |
| Asisten Anggota | Rp 2.250.000 |
| Total Estimasi | Rp 104.142.173 |
Selain itu, anggota DPR juga menerima fasilitas kredit mobil sebesar Rp70 juta per periode.
Reaksi Publik dan Sorotan
Kenaikan tunjangan ini memicu perdebatan di media sosial dan ruang publik. Banyak pihak mempertanyakan relevansi dan keadilan anggaran, terutama jika dibandingkan dengan profesi strategis lain seperti guru dan tenaga kesehatan.
“Gaji pokoknya memang tidak naik, tapi tunjangan-tunjangan ini membuat total pendapatan sangat tinggi,” ujar Adies Kadir dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen.
Transparansi dan Akuntabilitas
Ketentuan mengenai gaji dan tunjangan DPR RI diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 dan diperkuat oleh Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015. Namun, sejumlah pengamat menilai bahwa sistem remunerasi perlu dikaji ulang agar lebih berbasis kinerja dan transparansi.
Angka tersebut belum termasuk fasilitas kendaraan dinas, perjalanan luar kota, dan dana aspirasi yang bisa menambah pendapatan secara signifikan.
Sorotan Publik dan Kritik
Sejumlah pengamat menilai bahwa besarnya pendapatan anggota DPR RI tidak sebanding dengan kinerja legislatif yang kerap disorot karena absensi tinggi, minimnya produk legislasi, dan rendahnya transparansi. Di sisi lain, profesi seperti guru, tenaga kesehatan, dan aparat penegak hukum masih menghadapi tantangan kesejahteraan.
“Ini bukan sekadar soal angka, tapi soal prioritas negara dalam mensejahterakan rakyatnya,” ujar seorang pengamat kebijakan publik.
Transparansi dan Reformasi
Desakan terhadap transparansi anggaran dan reformasi tunjangan DPR terus bergema. Beberapa organisasi masyarakat sipil mendorong agar sistem remunerasi pejabat publik dikaji ulang, dengan mempertimbangkan indikator kinerja dan kontribusi terhadap pembangunan nasional.***












