Wapenja.com – Sekolahan makin sulit dan rumit di jaman pasca pandemi Covid. Bagaimana tidak?, dengan metode sistem atau jalur afirmasi, prestasi maupun zonasi justru bagi para pencari sekolah semakin menjerit. Bahkan, tak sedikit yang tiba-tiba domisili kependudukannya berpindah, sebab tak lain dan tak bukan hanya untuk mendekati sekolahan yang dianggap favorit.
Ada sebuah cerita, bahwa seseorang yang anaknya hendak memasuki sekolahan dengan jarak tak lebih dari 1 kilo meter dari rumah tinggalnya, harus tereliminasi dari kuota zonasi yang berjumlah 162 siswa.
Betapa kejadian itu tidak mempersulit, bisa dibayangkan, salah satu sekolahan yang dianggap favorit tersebut berada di tengah Kota, jika dilakukan perhitungan jarak di wilayah sekitar hanya terdapat 1 (satu) Desa dan 3 (tiga) kelurahan. Namun, apakah mungkin, 162 siswa yang diterima melalui jalur zonasi di sekolahan tersebut benar-benar warga/penduduk yang benar-benar sudah menetap lama, ataukah justru mendadak berpindah secara administrasi semata untuk mencari zonasi terdekat.
Ada keraguan terkait data siswa yang diterima secara jalur zonasi di salah satu sekolahan tersebut. Masak iya sih, data anak dengan usia yang hendak masuk ke jenjang sekolah menengah atas (SMA) dari 1 desa dan 3 kelurahan terdapat sebanyak itu, meskipun mengalami pertambahan. Perlu kiranya dilakukan sinkronisasi data satu sampai dua tahun sebelumnya, dengan data saat penerimaan (khususnya di 1 desa dan 3 kelurahan yang dimaksud).
162 siswa, tentu bukan jumlah yang sedikit, dan kuota yang ditentukan oleh pihak panitia penerimaan peserta didik baru melalui jalur/sistem zonasi sudah melalui proses yang sangat akurat. Sebab, masalah seperti ini, menjadi trending pembahasan di setiap tahun bagi para wali murid.
Si empunya cerita mengatakan, pada tahun 2020 lalu, anak pertamanya bisa diterima di SMA dengan jarak 905 meter dari rumah. Namun, di tahun 2023 ini anak keduanya harus menerima kenyataan yang tak sama setelah tereliminasi dari jalur prestasi, dan pada hari Minggu, 2 Juni 2023 kemarin kembali harus tereliminasi dari kuota 162 siswa jalur zonasi.
Meski sudah tereliminasi dari kuota zonasi, namun dari daftar aplikasi penerimaan siswa baru terpantau bahwa si anak telah diterima di sekolahan yang berdekatan dengan yang dituju. Padahal, jarak rumah si anak dan keluarga dengan sekolahan yang menerima justru lebih jauh, wah wah…entah ujian apalagi ini?.
Jarak yang diterima melalui sistem zonasi yang ditentukan sekolahan itu, yang terdekat mulai dari 62 meter dari sekolahan hingga 898 meter. Sedangkan kalau dilihat secara fakta, sekolahan tersebut berada di tengah-tengah Kota dan dikelilingi bangunan kantor di sekitarnya. Lalu dari mana saja calon peserta didik baru dengan kuota sejumlah 162 siswa.
Seorang wali murid yang menceritakan tentang keluh kesahnya, secara terang-terangan menyatakan kecewa, bahkan menganggap sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan cara seperti ini tidak mendidik mental yang baik terhadap bangsa. Meski demikian si wali murid tersebut tetap menerima dan akan membimbing anaknya agar menjalani kehidupan yang baik agar tercapai seluruh cita-cita serta bahagia dunia hingga akhirat kelak.
“Padahal memurutku, jarak rumah dengan sekolahan dekat, dekengane yo pusat (tak berhentinya berdoa memohon bantuan Allah Swt.), tapi tetap saja tidak tercatat,” celetuknya sambil senyum.
Bak undangan ngopi versi warganet kekinian, ‘Ayo yang jauh merapat yang dekat mencelat‘. Begitulah kiranya, keluh kesah wali murid yang saat ini sedang sibuk mendampingi anak-anaknya dalam menentukan pilihan sekolah, melalui jalur afirmasi, prestasi dan zonasi.
Semoga, ke depan dapat menjadi evaluasi guna perbaikan dalam sistem penerimaan peserta didik pada tahun ajaran baru.