Wapenja.com – ARTIFICIAL Intelligence (AI) kali pertama didefinisikan pada 1956 oleh Professor McCharthy s ebagai ilmu dan teknik pembuatan mesin yang cerdas. Terutama program komputer cerdas (McCarthy, 2007).
Secara konsisten, AI berevolusi seiring berkembangnya zaman. Pada era society 5.0 sekarang ini, AI menjadi pilar utama menunjang efektifivitas dan efi siensi berbagai sektor. Salah satu contohnya adalah ChatGPT, perangkat lunak canggih yang menawarkan berbagai kemudahan untuk para penggunanya dengan berbagai fitur ditawarkan.
Text-generating AI chatbot ini dirancang mampu menanggapi setiap pertanyaan diajukan oleh penggunanya, menjawab, mengoreksi jawaban yang salah, menolak untuk menjawab pertanyaan yang kurang pantas, hingga menyediakan berbagai alternatif jawaban dalam satu kata kunci yang sama.
Kecanggihan AI telah banyak mempermudah manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, bagaikan pisau bermata dua, tidak dapat dipungkiri bahwa AI dapat menimbulkan berbagai masalah baru apabila tidak dimanfaatkan secara bijaksana. Tentu, tidak heran jika teknologi AI memunculkan dilema baru di kalangan masyarakat, salah satunya lembaga pendidikan.
Populernya ChatGPT di kalangan pelajar menjadi dilema bagi beberapa lembaga pendidikan karena berpotensi menyebabkan adiksi. Membunuh kreativitas dan rentan akan penyalahgunaan.
Untuk menghindari hal tersebut, beberapa lembaga pendidikan mengambil pendekatan reaksioner dengan melarang penggunaan ChatGPT di lingkup pendidikan. Namun apakah larangan ini efektif untuk diterapkan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin berkembangnya zaman, kita akan selalu bersinggungan teknologi juga semakin berkembang. Memberlakukan larangan penggunaan AI justru dapat menjauhkan para generasi muda dari teknologi yang justru akan sering mereka temui di masa akan datang. Selain itu, larangan penggunaan teknologi AI akan menghambat mereka belajar menggunakannya dengan baik dan bijaksana.
Lantas bagaimana cara membendung pengaruh negatif dari AI? Pesatnya arus perkembangan teknologi tentu harus diimbangi optimalisasi pengembangan sumber daya manusia (SDM). Karena itu, untuk menyikapi masifnya perkembangan teknologi AI saat ini, diperlukan adanya pembekalan SDM mengenai fungsi dasar AI dan penggunaannya dalam kehidupan sehari- hari secara etis, salah satunya melalui Literasi AI.
Literasi AI ini melibatkan empat aspek. Pertama, mengetahui dan memahami AI. Kedua, menggunakan dan menerapkan AI. Ketiga, mengevaluasi dan menciptakan AI. Keempat, etika AI (Ng et al., 2021).
Pembekalan kemampuan literasi AI, khususnya di kalangan pelajar, akan mendukung pemahaman mereka mengenai pemanfaatan AI secara efektif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Adanya literasi AI mempersiapkan pelajar sebagai generasi muda akan akrab dengan perkembangan teknologi di masa depan.
Pelajar akan memperoleh pemahaman megenai konsep dasar, cara kerja, dan penggunaan teknologi AI dengan bijaksana sesuai nilai-nilai etis. Sehingga mereka akan lebih mudah beradaptasi dengan masifnya perkembangan teknologi dan dapat berkontribusi di dalamnya.
Di tengah era disrupsi di mana teknologi terus berevolusi, manusia harus mampu beradaptasi. Sehingga tidak hanyut dalam kemajuannya. Sehubungan dengan hal ini, literasi AI menjadi kompetensi urgen harus dikuasai oleh generasi muda, termasuk para pelajar. Pembekalan ini penting untuk menunjang tingkat melek AI di Indonesia sehingga dapat mereduksi pengaruh negatif dari teknologi AI itu sendiri. Memberdayakan generasi muda untuk siap, tangguh dan mampu berkontribusi positif dalam perkembangan zaman. (*)
*) Penulis Mahasiswa Universitas Airlangga tinggal di Lamongan